Daftar Hakim Agung yang Tolak PK Moeldoko Soal Partai Demokrat, Ini Sosoknya
Daftar hakim di MA yang menolak peninjauan kembali (PK) kubu Moeldoko atas kepengurusan Demokrat: Yosran, Lulik Tri Cahyaningrum, dan Cerah Bangun.
Penulis: Sri Juliati
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Mahkamah Agung (MA) menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan Moeldoko terkait kepengurusan Partai Demokrat.
"Amar Putusan: TOLAK," demikian bunyi status perkara 128 PK/TUN/2023 yang diunggah di situs resmi MA.
Masih merujuk pada informasi tersebut, status perkara telah diputus pada Kamis (10/8/2023) hari ini dan sedang dalam proses minutasi oleh Majelis.
PK yang diajukan Moeldoko terkait Partai Demokrat diadili oleh tiga hakim agung.
Duduk sebagai ketua majelis yaitu Yosran dengan didampingi dua anggota majelis yaitu Lulik Tri Cahyaningrum dan Cerah Bangun.
1. Yosran
Yosran dilantik menjadi hakim di MA sejak 5 Agustus 2015.
Sebelum menjadi hakim agung, Yosran menjabat sebagai Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya.
Dikutip dari ikahi.or.id, Yosran menamatkan pendidikan S1 di Universitas Andalas jurusan Hukum Acara Pidana.
Kemudian ia melanjutkan pendidikan S2 program Hukum Bisnis di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM (STIH IBLAM).
Yosran juga sudah menyelesaikan pendidikan S3 di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya jurusan Ilmu Hukum.
Dikutip dari untag-sby.ac.id, Yosran sukses memiliki gelar doktor setelah mempertanggungjawabkan disertasi mengenai Perlindungan Hukum Pejabat Pemerintahan pada Peradilan Tata Usaha Negara terkait dengan dugaan penyalahgunaan wewenang.
Pada 2020, Yosran bersama dua hakim agung lainnya yaitu Supandi dan Yodi Martono Wahyunadi menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Kasus ini bermula saat Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) keberatan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen yang dimulai sejak 1 Januari 2020.
Mereka kemudian menggugat ke MA dan meminta kenaikan itu dibatalkan. Gayung pun bersambut. MA mengabulkan permohonan itu.
2. Lulik Tri Cahyaningrum
Lulik Tri Cahyaningrum merupakan hakim agung yang dilantik pada 9 Juni 2023.
Sebelum bertugas di MA, Lulik Tri Cahyaningrum menjabat sebagai sebagai Direktur Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara (Badilmiltun).
Jauh sebelum itu, wanita kelahiran Malang pada 8 Mei 1963 pernah bertugas sebagai Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar (2016).
Haki agung berusia 60 tahun itu juga pernah menjadi Ketua Pengadilan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung.
Dikutip dari ikahi.or.id, Lulik Tri Cahyaningrum menempuh pendidikan S1 di Universitas Brawijaya jurusan Hukum.
Ia juga sukses meraih gelar Magister Hukum setelah menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas Airlangga.
3. Cerah Bangun
Hakim agung ketiga yang ikut menangani perkara PK Moeldoko adalah Cerah Bangun.
Cerah Bangun dilantik menjadi hakim agung pada 11 Agustus 2022.
Hakim agung kelahiran Jakarta, 13 Agustus 1971 itu sebelumnya bertugas sebagai Direktur Keberatan Banding dan Peraturan pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Dikutip dari Kompas.com, ia pernah menempuh pendidikan D III di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) pada 1994.
Kemudian, Cerah Bangun melanjutkan pendidikan hingga jenjang S3 di Universitas Indonesia dan selesai pada 2018.
Saat bertugas di Kemenkeu, Cerah Bangun pernah menduduki jabatan sebagai Kepala Kantor Wilayah DJBC Maluku, Papua, dan Papua Barat pada 2016.
Pada 2005, Cerah Bangun memperoleh penghargaan sebagai pegawai berprestasi luar biasa dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Atas pengabdiannya, Presiden Republik Indonesia menganugerahkan penghargaan Satyalancana Karya Satya XX.
Baca juga: BREAKING NEWS: MA Tolak PK Moeldoko soal Kepengurusan Partai Demokrat
Perjalanan PK yang Diajukan Moeldoko
Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko melakukan peninjauan kembali (PK) untuk mengambil alih Partai Demokrat.
Dalam PK ini, Moeldoko menggugat Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly dan Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Permohonan PK Moeldoko telah masuk ke MA pada 15 Mei 2023 dan telah mengantongi nomor perkara 128 PK/TUN/2023.
Dalam PK tersebut, novum atau alat bukti baru yang dilampirkan Moeldoko adalah sejumlah dokumen berita acara massa terkait pemberitaan.
Yaitu AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 merupakan AD/ART abal-abal karena dilahirkan dan dikarang di luar Kongres V, tanpa persetujuan anggota partai dan tidak disahkan dalam kongres, serta bertentangan dengan Undang-undang (UU) Partai Politik dan AD/ART Partai Demokrat.
Kemudian pada novum kedua, berisi surat berupa Keputusan Sidang Kongres Luar Biasa Partai Demokrat 2021 Nomor 06/KLB-PD/III/2021 tentang Penjelasan tentang Perubahan dan Perbaikan AD/ART Partai Demokrat, tertanggal 5 Maret 2021.
Isinya yakni, membatalkan AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020, AD/ART Partai Demokrat Kembali pada AD/ART hasil Kongres Bali 2005 dengan penyesuaian terhadap UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Novum ketiga yaitu surat berupa keputusan sidang Kongres Luar Biasa Partai Demokrat 2021 Nomor 08/KLB-PD/III/2021 tentang Laporan Pertanggungjawaban Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat periode 2020-2021 yang pada pokoknya menetapkan DPP Partai Demokrat periode 2020-2021 dinyatakan demisioner.
Novum keempat, berisi dokumen-dokumen berupa berita media massa terkait pertemuan Dirjen Administrasi Hukum Kemenhumham Cahyo R Muzhar dengan AHY yang merupakan bukti nyata keberpihakan termohon PK I (Menkumham) kepada termohon PK II intervensi (AHY) sebagai bentuk pelanggaran terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dan asas asas umum pemerintahan yang baik.
Sebelumnya, MA sudah menolak kasasi yang diajukan Moeldoko terkait keputusan Menkumham yang menolak hasil Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang.
Menanggapi ditolaknya PK tersebut, Ketua Dewan Kehormatan Demokrat, Hinca Pandjaitan mengatakan, perjuangan Moeldoko untuk mengkudeta Demokrat telah selesai.
Sebaliknya, Partai Demokrat dipastikan tetap berada dikomando AHY.
"Itu artinya selesailah sudah perjuangannya Moeldoko, Demokrat tetap dikomandoi oleh Mas AHY. Tidak ada Moeldoko, tidak ada KLB. Selesai," katanya.
(Tribunnews.com/Sri Juliati/Igman Ibrahim)