Eks Anggota Bawaslu RI Pertanyakan Sikap KPU Reduksi Peran Perempuan dalam Pemilu
Eks Anggota Bawaslu mempertanyakan KPU RI menghapus aturan keterwakilan perempuan dalam Peraturan KPU (PKPU) 10/2023
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI 2008-2012 Widyaningsih, mempertanyakan kenapa Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menghapus keterwakilan perempuan dalam Peraturan KPU (PKPU) 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Padahal dalam aturan sebelumnya, yakni PKPU 20/2018, KPU mengakomodir kebijakan afirmasi yang mana menurut Widyaningsih itu jauh lebih ideal.
"Sebenarnya kalau bicara ideal tentu yang mengakomodir afirmatif keterwakilan perempuan," kata Widyaningsih kepada awak media, Selasa (15/8/2023).
"Dan sebenarnya kalau kita melihat PKPU yang sebelumnya juga sudah mengakomodir itu," sambungnya.
Widyaningsih mempertanyakan sikap KPU atas tindakan menghapus kebijakan afirmatif itu dalam PKPU baru.
Ditambah lagi, ketika KPU sempat berjanji untuk merevisi ihwal keterwakilan perempuan dalam PKPU 10/2023 itu.
Namun sebagimana diketahui, janji itu lenyap pascapertemuan KPU dan DPR beberapa waktu lalu.
Baca juga: Bawaslu: Politik Uang Jadi Isu Besar dalam Kerawanan Pemilu 2024
"Nah ini pertanyaan besar kami, kenapa kemudian untuk PKPU sekarang diubah. Dan pertanyaan besar kami kenapa dijanjikan di dalam pertemuan dan bahkan disampaikan di press conference, tapi kenapa tiba-tiba tidak diubah," tuturnya.
Padahal, sejauh ini, keterwakilan perempuan belum mencapai kata maksimal.
Ia sangat menyayangkan langkah KPU yang kemudian semakin mereduksi peran perempuan di dalam pemilu dan pemerintah.
"Dari UU Pemilu sendiri sebenarnya keterwakilan perempuan juga belum maksimal. Tapi ini kenapa terus, akhirnya direduksi lagi, itu yang sangat kami khawatirkan," katanya.
Untuk diketahui, Widyaningsih turut menjadi bagian dari kelompok masyarakat sipil yang mengadukan KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI.
Baca juga: Eks Anggota Bawaslu Minta DKPP Segera Proses Aduan Masyarakat Sipil
Kelompok yang mengatasnamakan Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan ini menduga KPU melakukan tindakan melanggar prinsip mandiri.
Pelanggaran itu diduga dilakukan saat KPU menyusun regulasi sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a Peraturan KPU (PKPU) 10/20223 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Sebagai informasi, 17 April 2023 KPU telah menetapkan PKPU No 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Dalam Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 dinilai bisa membuat keterwakilan perempuan di legislatif menjadi kurang dari 30 persen.
Pasal ini mengatur terkait pembulatan desimal ke bawah dalam teknis penghitungan proporsi jumlah keterwakilan perempuan di satu dapil.
"Dalam hal penghitungan 30 persen (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai: (a) kurang dari 50 (lima puluh), maka hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau (b) 50 (lima puluh) atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas," bunyi Pasal 8 Ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023.
Akibat dari aturan itu, keterwakilan perempuan akan kurang dari 30 persen di sejumlah dapil. Semisal, pada dapil yang memberlakukan 7 caleg, 30% dari jumlah tersebut ialah 2,1.
Sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023, angka di belakang koma kurang dari 50, maka 2,1 dilakukan pembulatan menjadi 2 orang.