Isi Lengkap Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi dalam Rangka HUT ke-78 RI, Rabu 16 Agustus 2023
Isi pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sidang tahunan MPR RI bersama DPR RI dan DPD dalam rangka HUT ke-78 RI, 16 Agustus 2023.
Penulis: Muhammad Alvian Fakka
Editor: Endra Kurniawan
TRIBUNNEWS.COM - Berikut isi lengkap pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sidang tahunan MPR RI bersama DPR RI dan DPD dalam rangka HUT ke-78 RI.
Presiden Jokowi menyampaikan pidato kenegaraan dalam rangka HUT ke-78 RI di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, MPR bersama dengan DPR dan DPD RI, hari ini, Rabu (16/8/2023).
Isi pidato kenegaraan Presiden Jokowi hari ini, mengandung beberapa poin penting yang diungkapkan secara personal dalam sidang tahunan bersama MPR, DPR, dan DPD RI.
Diantaranya presiden menyampaikan kekecewaannya terkait hilangnya budaya santun dan budi pekerti luhur yang digunakan untuk melampiaskan kedengkian atau fitnah.
Dalam pidatonya, Presiden Jokowi juga menyampaikan sebagai pemimpin untuk menghadapi pilihan kebijakan yang semakin sulit, dibutuhkan keberanian dan kepercayaan (public trust).
“Pemimpin itu harus punya public trust, karena kepercayaan adalah salah satu faktor penentu bisa berjalan atau tidaknya suatu kebijakan, bisa diikuti atau tidaknya sebuah keputusan. Ini adalah modal politik dalam memimpin sebuah bangsa besar seperti Indonesia,” ujarnya dalam pidato kenegaraannya.
Baca juga: Jokowi Singgung Ungkapan Pak Lurah Tentukan Restu, Surya Paloh: Cuma Jokes, Science of Human
Menjelang tahun kontestasi pemilihan umum (Pemilu) 2024, Presiden Jokowi juga berharap agar pertarungan politik nanti tetap diliputi kesantunan dari setiap tokoh dan masyarakat yang memeriahkannya.
Lebih lengkapnya, berikut isi pidato kenegaraan Presiden Jokowi dalam rangka HUT ke-78 RI, mengutip dari laman setkab.go.id:
Bismillahirrahmaanirrahiim,
Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh
Selamat pagi,
Salam sejahtera bagi kita semua,
Om Swastyastu,
Namo Buddhaya,
Salam Kebajikan.
- Yang saya hormati Wakil Presiden Republik Indonesia, Bapak Prof. Dr. (H.C.) KH Ma’ruf Amin beserta Ibu Hj. Wury Estu Ma’ruf Amin;
- Yang saya hormati Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
- Yang saya hormati Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
- Yang saya hormati Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;
- Yang saya hormati Ketua, para Wakil Ketua, dan para Anggota Lembaga-Lembaga Negara;
- Yang saya hormati Ibu Prof. Dr. (H.C.). Hj. Megawati Soekarnoputri, Presiden Kelima Republik Indonesia;
- Yang saya hormati Bapak Jenderal (Purn.) TNI Try Sutrisno dan Bapak H. Hamzah Haz;
- Yang saya hormati Bapak H. Muhammad Jusuf Kalla beserta Ibu Hj. Mufidah Jusuf Kalla;
- Yang saya hormati Ibu Hj. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid;
- Yang saya hormati Yang Mulia para Duta Besar Negara-Negara Sahabat dan para Pimpinan Perwakilan Badan dan Organisasi Internasional;
- Yang saya hormati para Menteri Kabinet Indonesia Maju, Jaksa Agung, Panglima TNI, dan Kapolri, serta KaBIN;
- Yang saya hormati,para Ketua Umum Partai Politik;
Bapak-Ibu, Saudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air, Para hadirin yang saya muliakan.
Kita saat ini sudah memasuki tahun politik. Suasana sudah hangat-hangat kuku dan sedang tren di kalangan politisi dan partai politik, setiap ditanya capres dan cawapresnya, jawabannya, “Belum ada arahan dari Pak Lurah.”
Saya sempat berpikir, siapa ini “Pak Lurah”. Sedikit-sedikit kok Pak Lurah. Belakangan saya tahu, yang dimaksud Pak Lurah ternyata saya. Ya, saya jawab saja, saya bukan lurah, saya Presiden Republik Indonesia. Ternyata Pak Lurah itu kode.
Tapi, perlu saya tegaskan. Saya ini bukan ketua umum parpol, bukan ketua umum partai politik, bukan juga ketua koalisi parpol. Sesuai ketentuan undang-undang, yang menentukan capres dan cawapres adalah partai politik dan koalisi partai politik. Jadi saya ingin mengatakan, itu bukan wewenang saya. Bukan wewenang Pak Lurah. Bukan wewenang Pak Lurah, sekali lagi.
Walaupun saya paham, ini sudah nasib seorang Presiden untuk dijadikan paten-patenan [Bahasa Jawa], dijadikan alibi, dijadikan tameng. Bahkan, walau kampanye belum mulai, foto saya banyak dipasang di mana-mana. Saya harus ngomong apa adanya. Saya ke Provinsi A, ada, ke Kota B, ada, ke Kabupaten C, ada juga. Sampai ke tikungan-tikungan desa, ada juga. Tapi, bukan foto saya sendirian. Ada di sebelahnya bareng Capres. Ya, saya kira menurut saya juga tidak apa-apa. Boleh-boleh saja.