Indonesia Bisa Berhenti Menggunakan Bahan Bakar Fosil pada 2045
Petrus Tjandra menyebut saat ini kapasitas produksi satu hektar lahan sawit hanya sekitar sembilan ton tandan buah segar.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Berbagai negara tengah mencari pengganti bahan bakar fosil yang jumlahnya terbatas, dan berdampak buruk terhadap lingkungan.
Menurut Petrus Tjandra, Indonesia punya pengganti bahan bakar fosil, dan bisa berhenti menggunakan bahan bakar fosil pada 2045 mendatang, dengan memanfaatkan biodiesel.
Dalam pemaparannya di acara "Peran dan Kontribusi FMIPA UI dalam Pengembangan Riset dan Peningkatan Nilai Sawit Indonesia," yang digelar di kampus Universitas Indonesia (UI), Depok, Rabu (16/8/2023), Petrus Tjandra menjelaskan bahwa Indonesia punya industri kelapa sawit yang hasilnya bisa dimanfaatkan untuk biodiesel.
Namun kapasitas produksi minyak sawit di Indonesia belum maksimal.
Menurutnya, mendorong kapasitas produksi hingga mencapai 100 juta ton pada 2045 bukanlah hal yang mustahil.
"Artinya di dua ribu empat lima akan ada produksi seratus juta ton minyak sawit. Sehingga kita punya renewable energy," ujar Petrus Tjandra.
Di hadapan mahasiswa UI, Petrus Tjandra menyebut saat ini kapasitas produksi satu hektar lahan sawit hanya sekitar sembilan ton tandan buah segar.
Padahal jika dikelola dengan maksimal, menurut CEO Agro Investama Group itu satu hektar lahan sawit bisa menghasilkan hingga 25 ton tandan buah segar.
Kurang maksimalnya kapasitas produksi tersebut dikarenakan perawatan dan panen yang tidak baik.
Petrus menjelaskan petani sawit masih banyak yang menyepelekan kualitas bibit, dan masih banyak yang salah memilih waktu panen.
“Kerap kali saat terdesak kebutuhan maka buah yang masih mentah dipotong. Padahal kadar minyaknya baru empat belas persen. Malah takut memetik saat matang karena petani khawatir busuk,” tuturnya.
Selain itu, menurutnya penting juga dibangun fasilitas pengolahan yang jaraknya tidak jauh dari lokasi panen.
Hal tersebut dapat meminimalisir terjadinya kebusukan pada sawit, saat dikirim ke lokasi pengolahan.
"Lantas bagaimana agar sawit yang dipetik benar-benar matang dan tidak ada kekhawatiran menjadi busuk ketika dikirim dari petani ke pabrik? pabrik harus lebih dekat dengan kebun. Sehingga memangkas jarak dan efisiensi waktu," katanya.