PKS Respons Wacana MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi: Jangan Celetak-celetuk Aja
PKS menanggapi usulan agar MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara seperti yang dilontarkan Bambang Soesatyo.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menanggapi usulan agar MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara.
Sekjen PKS Habib Aboe Bakar Alhabsyi tak mempermasalahkan hal itu, sepanjang semua pihak menyepakatinya.
"Buat kita kalau mau kembali ke amandemen kita siap saja enggak ada masalah asal semua disepakati," kata Habib Aboe di Kantor DPP PKS, Jakarta Selatan, Kamis (17/8/2023).
Habib Aboe mengingatkan jangan hanya melempar wacana tapi belum ada kesepakatan fraksi di MPR.
Padahal pengembalian MPR jadi lembaga tertinggi negara juga perlu kajian yang komprehensif.
Baca juga: Hadiri Sidang MPR: Megawati Rapikan Dasi Ketua KPK, Prabowo Cium Tangan Sinta Wahid, Jokowi Curhat
"Jangan celetak-celetuk belum siap semuanya, main celetak-celetuk aja padahal enggak ada kesepakatan dari bidang-bidang lain di lembaganya, kita enggak usah sebutkanlah," katanya.
Diketahui Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyatakan, idealnya MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang sudah dilakukan sebanyak 4 kali.
Hal itu disampaikan Bamsoet dalam pidatonya saat Sidang Tahunan MPR 2023.
Baca juga: Ketua MPR RI Bamsoet: Perlu Kita Renungkan Kembali Penataan Lembaga-lembaga Negara
Dalam kesempatan ini, Bamsoet juga menyinggung pidato Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri, yang pernah menyebut demikian.
"Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu," ujar Bamsoet di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023).
Terkait hal ini, Bamsoet menyinggung soal pelaksanaan pemilu lima tahun sekali yang merupakan perintah langsung Pasal 22E UUD 1945.
Dalam aturan itu secara tegas mengatur bahwa pemilu dilaksanakan mutlak lima tahun sekali.
Namun, ia menilai bisa saja timbul persoalan jika menjelang pemilu terjadi sesuatu yang di luar dugaan.
Termasuk jika terjadi bencana alam berskala besar, peperangan, pemberontakan, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan pemilu tidak dapat diselenggarakan sesuai konstitusi.
"Dalam keadaan demikian, timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut? Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan pemilihan umum?" ujar Bamsoet.
"Bagaimana pengaturan konstitusional-nya jika pemilihan umum tertunda, sedangkan masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, anggota-anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta para menteri anggota kabinet telah habis?" sambungnya.
Lebih lanjut kata dia, beragam permasalahan tersebut belum ada jalan keluar konstitusionalnya usai amandemen UUD 1945.
Karenanya kata Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu, kondisi tersebut memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh.
Kata Bamsoet, pada masa sebelum Amendemen UUD 1945, MPR masih dapat menetapkan berbagai ketetapan yang bersifat pengaturan.
Salah satunya yakni untuk melengkapi kevakuman pengaturan di dalam konstitusi.
"Apakah setelah perubahan undang-undang dasar MPR masih memiliki kewenangan untuk melahirkan ketetapan-ketetapan yang bersifat pengaturan? Hal ini penting untuk kita pikirkan dan diskusikan bersama, demi menjaga keselamatan dan keutuhan kita sebagai bangsa dan negara," tukas dia.
Sesuai amanat ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, maka MPR kata dia, dapat di-atribusikan dengan kewenangan subyektif superlatif dan kewajiban hukum.
Dalam hal ini, MPR RI memiliki fungsi untuk mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat pengaturan guna mengatasi dampak dari suatu keadaan kahar fiskal maupun kahar politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar.