Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

VIDEO Komisi V DPR Kritik Rencana Subsidi Tarif Kereta Cepat Jakarta-Bandung: Berpotensi Langgar UU

Sigit menegaskan rencana pemberian subsidi tarif tersebut berpotensi melanggar UU No. 23 tahun 2007 tentang Perekeretaapian.

Penulis: Taufik Ismail
Editor: Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan memberikan subsidi tarif atau public service obligation (PSO) untuk tiket Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).

Rencana tersebut mendapatkan kritikan dari Anggota Komisi V DPR RI Fraksi PKS Sigit Sosiantomo.

Sigit menegaskan rencana pemberian subsidi tarif tersebut berpotensi melanggar UU No. 23 tahun 2007 tentang Perekeretaapian.

“Presiden seharusnya tahu kalau pemberian PSO atau subsidi hanya diberikan untuk kereta ekonomi atau perintis sesuai UU Perkeretaapian."

"Pernyataan Presiden soal PSO untuk tarif KCJB jelas berpotensi melanggar pasal 152 dan 153 UU Perkeretaapian."

"Subsidi hanya boleh diberikan untuk kereta api ekonomi dan perintis," kata Sigit, Rabu, (23/8/2034).

KCJB kata dia tidak bisa diklasifikasikan sebagai kereta ekonomi dan kereta perintis.

Berita Rekomendasi

Dari sisi fasilitas yang diberikan seperti kecepatan yang menyentuh angka 420 km/jam serta kecepatan operasional 350 km/jam dan fasilitas kelas dari VIP sampai second class menunjukkan kereta cepat Jakarta-Bandung bukan kereta kelas ekonomi yang layak disubsidi.

"Dan ini sudah diperjelas juga oleh Kemenhub bahwa KCJB bukan kereta ekonomi,” kata Sigit.

Seperti diketahui, satu rangkaian KCJB akan terdiri dari delapan gerbong kereta dengan kapasitas penumpang sebanyak 601 pelanggan. Jumlah ini terbagi dalam beberapa kelas pelayanan, yakni VIP, First Class (Kelas 1), dan Second Class (Kelas 2).

Adapun kapasitas maksimal penumpang VIP sekitar 18 orang, 28 orang untuk pelanggan First Class, dan 555 penumpang untuk Second Class.

Adapun untuk fasilitas yang disediakan dalam KCJB ini adalah Dining Car, Charging Port, Luggage Storage, hingga fasilitas untuk difabel.

Berdasarkan pasal 153 ayat 1 dan 2 UU Perkeretaapian, kewajiban pelayanan PSO hanya diberikan untuk kereta ekonomi dan perintis.

Pemberian PSO dilakukan jika tarif angkutan yang ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah lebih rendah daripada tarif yang dihitung oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.

Selisih dari tarif tersebut kemudian menjadi tanggung jawab Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam bentuk kewajiban pelayanan yang diberikan dalam bentuk PSO atau subsidi.

Selain berpotensi melanggar UU, pemberian subsidi pada kereta cepat juga dinilai akan membebani anggaran.

Di sisi lain, dengan anggaran subsidi yang terbatas, pemberian PSO pada kereta cepat berpotensi mengganggu subsidi lainnya yang lebih dibutuhkan masyakat.

“Esensi pemberian PSO adalah untuk membantu masyarakat tidak mampu agar mendapat tarif yang terjangkau untuk kelas ekonomi."

"Tapi, kalau PSO diberikan untuk tarif kereta cepat yang notabene bukan kereta ekonomi yang terlihat justru membantu operator agar keretanya tidak kosong."

"Sudahlah pembangunannya yang tadinya murni bisnis menjadi tanggungan APBN, ditambah lagi tarifnya minta disubsidi, apa tidak double menjadi beban APBN kereta cepat ini,” kata Sigit.

Oleh karenanya Sigit berharap pemberian PSO benar-benar mengacu pada aturan bukan kepentingan tertentu.

Sigit juga menyarankan PSO kereta api lebih baik diberikan untuk kereta jarak jauh yang sebelumnya sudah sudah dihapus lebih dulu oleh pemerintah seperti KA Logawa, KA Brantas, KA Pasundan, KA Gaya Baru Malam Selatan, dan KA Matarmaja.(Tribunnews/Taufik Ismail)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas