Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Komisi X DPR Disebut Belum Satu Suara soal Tugas Akhir Pengganti Skripsi

Komisi X DPR belum satu suara bahkan belum membahas perihal Permendikbudristek No. 53 tahun 2023 episode ke-26.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Theresia Felisiani
zoom-in Komisi X DPR Disebut Belum Satu Suara soal Tugas Akhir Pengganti Skripsi
Tribunnews.com/Chaerul Umam
Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Partai Gerindra Himmatul Aliyah. Komisi X DPR belum satu suara bahkan belum membahas perihal Permendikbudristek No. 53 tahun 2023 episode ke-26 yang membahas soal akreditasi dan standar perguruan tinggi, serta kebebasan kampus untuk menjadikan pembuatan skripsi, tesis dan disertasi sebagai syarat kelulusan.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim telah meluncurkan Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi dalam program Merdeka Belajar episode ke-26.

Dalam Permendikbud tersebut, mahasiswa sarjana dan mahasiswa diploma 4 tidak lagi wajib membuat skripsi untuk tugas akhir sebagai syarat kelulusan. 

Regulasi itu menyebutkan bahwa mahasiswa diberikan sejumlah pilihan tugas akhir sebagai syarat kelulusan.

Baca juga: Skripsi Tak Lagi Wajib, Kemendikbudristek Ingatkan Kampus Tidak Asal Luluskan Mahasiswanya

Terkait hal ini, Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Partai Gerindra Himmatul Aliyah mengatakan bahwa Komisi X DPR belum satu suara bahkan belum membahas perihal Permendikbudristek No. 53 tahun 2023 episode ke-26 yang membahas soal akreditasi dan standar perguruan tinggi, serta kebebasan kampus untuk menjadikan pembuatan skripsi, tesis dan disertasi sebagai syarat kelulusan. 

Hal ini disampaikan oleh Himmatul Aliyah dalam Dialektika Demokrasi yang bertajuk "Merdeka Belajar! Membedah Permendikbudristek No. 53 tahun 2023" di Media Center DPR, Selasa (13/9/2023).

"Kami di komisi X memang kan belum juga satu suara untuk menyampaikan, karena kami juga sampai saat ini belum rapat tentang hal ini," kata perempuan yang akrab disapa Himma ini.

Bahkan, diakuinya baru mengetahui perubahan ini 2 minggu lalu, ketika ia sedang bertemu dengan rektor-rektor seluruh Indonesia, sehingga ia pun bersama para rektor mempelajari tentang ini. 

Berita Rekomendasi

Dan ia pribadi pun mendukung ketentuan yang diatur pada episode ke-26 ini karena tidak adanya diskriminasi soal akreditasi kampus.

"Tapi dalam hal ini, keluarnya permen ini saya sendiri mendukung karena ini adanya penyederhanaan, yang tadinya akreditasi mungkin terbagi A, B, C gitu, Kalau yang C pasti udah dianggapnya, padahal kan mungkin belum tentu akreditasi C Itu kualitas pendidikannya belum tentu rendah, tapi image di masyarakat kadang kalau C itu 'ah sekolah pinggiran, sekolah kecil'," ucapnya.

"Tetapi dengan adanya peraturan baru ini saya mendukung , karena ini berarti tidak ada lagi diskriminasi terhadap kampus-kampus, itu baik tapi nanti kita minta pendapat dari Mustopo dan dari Mercu Buana," imbuhnya. 

Baca juga: Mahasiswa S1 Tak Wajib Skripsi, Pengamat Harap Kampus Bijak Menyikapi Aturan Baru Ini

Sebab itu, Himma pun berharap kepada pemerintah, khususnya Kemendikbudristek untuk memastikan implementasi dari Permendikbud 53/2023 episode ke-26 ini. 

Hal ini agar akreditasi ini outputnya meningkatkan mutu perguruan tinggi, bukan diskriminasi perguruan tinggi.

"Kemudian juga harus meningkatkan mutu perguruan tingginya, jadi bukan malah dengan adanya akreditasi yang terstandarnya hanya unggul dan terakreditasi dan tidak terakreditasi, kemudian ada standarnya unggul, terakreditasi internasional. Jadi kalau misalnya, prodinya sudah dapat pengakuan internasional itu juga sudah dianggap terakreditasi," ucap legislator Dapil DKI Jakarta ini. 

Selain itu, Himma pun mendorong agar kampus segera melakukan pembenahan dalam segala aspek agar banyak perguruan tinggi di Indonesia mencapai world class university.

Ia juga menyoroti belanja penelitian di Indonesia hanya sebesar 0,09 persen dari PDB (produk domestik bruto) tahun 2012, yang sangat rendah dibandingkan dengan negara tetangga kita Singapore dan juga Malaysia. 

Juga rendahnya kualitas sumber daya manusianya, baik dosen maupun peneliti di Indonesia.

"Kemudian masih adanya sistem penghargaan insentif yang ada membuat akademisi enggan menghasilkan penelitian dan pengajaran yang berkualitas tinggi. Kemudian pengelola perguruan tinggi oleh pemerintah masih bersifat sangat terpusat, top down dan restricted ataupun membatasi," pungkas Himma. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas