HUT ke-45 FKPPI, Pontjo Soetowo Ingatkan Politik Secara Etik Mengalami Kemunduran
Ketua Umum FKPPI, Pontjo Soetowo mengingatkan dan mengajak politisi tidak terjebak pada demokrasi prosedural dan tekanan oligarki
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Editor: Wahyu Aji
Hasiolan EP/Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI), Pontjo Soetowo mengingatkan dan mengajak politisi tidak terjebak pada demokrasi prosedural dan tekanan oligarki menjelang momen Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024.
Dia juga mengajak untuk kembali pada demokrasi Pancasila dan UUD 45.
Hal itu dia lontarkan dalam pidatonya pada acara Dialog Kebangsaan dalam rangka syukuran HUT FKPPI ke-45 di Jakarta, Selasa (12/09/2023).
"Visi dan komitmen politik terjebak dalam demokrasi prosedural dengan tekanan orientasi jangka pendek dengan muara arus kebangsaan dan kenegaran yang tak menentu. Pilihan dan program pembangunan tercegat kubangan kedaruratan lima tahunan, yang harus dibayar mahal dengan kerusakan berkelanjutan," kata Pontjo Soetowo dikutip Kamis (14/9/2023).
Hadir dalam acara tesebut capres Prabowo Subianto, politisi Golkar Bambang Susatyo, Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri, Ketua DPD LaNyala M. Mattalitti, Bagir Manan, Sri Edy Swasono PhD, Siti Zuhro, Yudhi Latief, dan Bambang Wibawarta. Sedangkan dua capres Ganjar Pranowo dan Prabowo menyampaikan testimoni melalui video.
Pontjo mengatakan, situasi politik nasional saat ini cenderung mengalami kemunduran secara etik meski mengalami kecanggihan dari sisi teknis.
"Politik sebagai teknik mengalami pencanggihan, tapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Politik dan etik terpisah seperti minyak dan air," ungkapnya.
Menurutnya, setelah 25 tahun reformasi, bangsa Indonesia telah meraih berbagai kemajuan inkremental, namun kemajuan yang dicapai itu berdiri di atas landasan yang goyah.
Dikatakan Pontjo, Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan dirayakan dengan surplus ritual dan ucapan, namun miskin penghayatan dan pengamalan.
Dalam realitasnya, Pancasila tak lagi dijunjung tinggi sebagai titik temu, titik tumpu, dan titik tuju kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca juga: Sosok Pontjo Sutowo Kuasai Lahan di GBK Hingga Mahfud MD Minta Hengkang dari Hotel Sultan
Pontjo mengatakan, sistem demokrasi prosedural yang menekankan keterpilihan individu dalam sistem pemilu yang padat modal telah merusak prinsip-prinsip kesetaraan politik dan kesetaraan kesempatan, yang melahirkan demokrasi degeneratif di bawah tirani oligarki.
"Di bawah tirani oligarki, pilihan kebijakan dan tindakan pemerintahan terdistorsikan komitmennya untuk melaksanakan misi negara: melindungi segenap bangsa," ucapnya.
"Kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dijalani secara kontradiktif. Tren perkembangan global menuju otomatisasi, ekonomi pengetahuan, perampingan pemerintahan, perubahan iklim, penggunaan energi hijau, penyebaran pandemi, dan perluasan kesenjangan sosial, memerlukan perencanaan jangka panjang berkesinambungan untuk meresponnya. Namun, orientasi politik dan visi waktu politik kita justru tertawan short-termism," kata Pontjo.
Sementara itu, akademisi Yudhi Latief yang hadir sebagai penyimpul mengatakan, pada ranah tata sejahtera, demokrasi politik tak berjalan seiring dengan demokrasi ekonomi.
Kesenjangan sosial makin lebar karena pengabaian prinsip keadilan dalam distribusi harta, kesempatan dan privilese sosial.
"Indonesia dengan potensi sumberdaya alam yang berlimpah justru tak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara berdaulat. Paradigma ekonomi lama dengan prinsip asal bisa mengimpor dengan murah harus diakhiri. Terperangkap dalam prinsip itu membuat kita kehilangan wahana peningkatan kapabilitas belajar untuk mengolah dan mengembangkan nilai tambah potensi sumberdaya kita," kaya Yudhi.
Dengan memperhatikan berbagai distorsi dan destruksi dalam tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera dalam rentang waktu 25 tahun Orde Reformasi, bisa ditarik kesimpulan bahwa demokrasi dan tata kelola negara yang berkembang tidak berada di jalur yang tepat. Distorsi dan degenerasi demokrasi bukan hanya mencerminkan kegagalan perseorangan, tapi kegagalan sistemik.
Oleh karena itu, dalam forum ulang FKPPI ke-45 ini, para pembicara dengan redaksi yang berbeda, dalam arus besarnya menemukan kesepahaman dalam ajakan untuk kembali ke fitrah cita negara Pancasila dengan jalan kembali ke Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk dilakukan penyempurnaan secara bertahap dengan cara addendum. (*/)