Cerita Anak DN Aidit Muak Dengar Ada Pihak yang Masih Kerap Menggoreng Isu PKI: Kepentingannya Apa?
Anak keempat DN Aidit, Ilham Aidit, bercerita bagaimana ia merasa muak dan sedih saat tahu masih ada pihak yang menggoreng isu tentang PKI.
Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Nanda Lusiana Saputri
TRIBUNNEWS.com - Anak keempat tokoh PKI DN Aidit, Ilham Aidit, bercerita soal diskrimasi, persekusi, bahkan kekerasan, masih kerap dialami oleh orang-orang keturunan atau yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan PKI hingga saat ini.
Ilham mengungkapkan, pada 2016 silam, dalam acara peluncuran sebuah buku di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, masih terjadi aksi persekusi, diskriminasi, dan kekerasan,
Padahal, kata dia, negara sudah mencabut aturan tentang larangan PKI sejak lama.
Namun, menurutnya, aksi-aksi diskriminasi atau persekusi masih terjadi di akar rumput atau masyarakat.
"Masih berkali-kali terjadi, saat ada kegiatan di tahun 2016 kalau enggak salah, ada kegiatan di TIM dibubarkan."
Baca juga: Anak DN Aidit: Negara Berutang Maaf pada Keluarga Korban Pelanggaran HAM Berat
"Padahal pencabutan aturan perundangan sudah dilakukan, ternyata di akar rumput masih terjadi," ungkap Ilham saat diwawancarai khusus oleh Tribunnews.com beberapa waktu lalu.
Tak hanya itu, ia juga mengaku sedih dan muak mengetahui ada sejumlah pihak yang masih kerap menggoreng isu PKI, bahkan setelah masa reformasi sudah berlalu sejak 25 tahun silam.
Ilham lantas menyebut nama eks Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, yang menurutnya tak memiliki motif jelas dengan mengungkit kembali isu PKI.
"Seperti misalnya, ada mantan pejabat, maaf Pak Gatot Nurmantyo, masih dengan semangat membara menyebut komunisme di Indonesia masih ada."
"Mereka (PKI) bangkit, mereka bergerak, dan sebagainya," urai Ilham.
Menurutnya, apabila memang komunisme masih ada di Indonesia, lanjut Ilham, Gatot harus membuktikannya, misal dengan menunjukkan di mana kantornya,
Lalu, membawanya ke pengadilan untuk diproses.
"Sebenarnya gampang, kalau betul ada (komunisme di Indonesia), Anda informasikan kepada aparat, tunjukkan di mana kantornya, rampas dokumennya, bawa ke pengadilan, dan adili," tegas dia.
Pasalnya, apabila hanya sekedar menggoreng isu, Ilhan berpendapat tak ada bedanya dengan menggiring opini.
Terlebih, saat ini negara dan pihak-pihak terkait sedang berusaha menghilangkan diskriminasi dan stigma terhadap keturunan atau orang-orang yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan PKI.
Ia pun mempertanyakan, kepentingan apa yang melatarbelakangi sehingga masih sering menggoreng isu PKI.
"Jangan kemudian hanya giring opini tanpa bukti, itu berbahaya," ujar Ilham.
"Sebab kita sedang semangat membicarakan negara demokrasi dan menghilangkan diskriminasi dan stigma, tapi Anda terus menggaungkan soal itu."
"Entah kepentingannya apa ya? Bisa jadi memang mereka-mereka ini tuh hanya bisa eksis kalau bicara PKI," imbuhnya.
Baca juga: Ilham Aidit: Tiap Bulan September Orang Hanya Fokus ke Peristiwa G30S, Padahal . . .
Ilham pun menegaskan saat ini PKI di Indonesia sudah tidak ada.
Karena itu, ia menganggap dengan adanya sejumlah pihak yang sering menggoreng isu tentang PKI, adalah wujud ketidakadilan lantaran melukai orang-orang yang dicap komunis secara sepihak.
"PKI sudah tidak ada, PKI sudah bangkrut. Bahkan mereka sudah tua, umurnya 80 sampai 90 tahun."
"Tapi, itu (isu PKI) kemudian dibangkitkan, dengan bangkitnya isu itu, mereka jadi eksis, itu tidak fair," tutur dia.
Soal Pernyataan Gatot Nurmantyo
Eks Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, adalah salah satu pihak yang meyakini gerakan PKI masih eksis di Indonesia.
Ia kerap melontarkan isu tersebut setiap menjelang peringatan Gerakan 30 September atau G30 S.
Dalam catatan Tribunnews.com, pada 2018 silam, Gatot pernah mengatakan PKI masih berkumpul dan membuat kegiatan.
Ia bahkan mengklaim memiliki data soal PKI di Indonesia, namun enggan membeberkannya.
"Mereka (PKI) selalu berkumpul bersama-sama dan membuat kegiatan," ujar Gatot pada September 2018.
"Di sini (Indonesia) Partai Komunis masih ada, komunis tak laku dijual secara internasional, iya. Tapi, di sini ada indikasinya jelas."
"Masih ada dan saya tahu data-datanya yang tidak saya bongkar di sini," lanjutnya.
Lalu, saat webiner online bertajuk TNI vs PKI yang digelar pada 26 September 2021, Gatot kembali menyinggung soal isu PKI.
Saat itu, Gatot menyebut TNI sudah disusupi oleh PKI.
Baca juga: Alami Diskriminasi Anak DN Aidit Dua Kali Gagal Jadi PNS
Tudingan itu dilontarkan Gatot usai diorama penumpasan G30 S di Museum Dharma Bhakti, Markas Kostrad, Jakarta, dihilangkan.
Ia lantas meminta kepada jajaran TNI agar bersih-bersih dari pengaruh PKI.
"Sudah ada penyusupan (PKI) di dalam tubuh TNI. Dalam kesempatan ini, saya mengetuk jiwa patriotisme dan ksatria TNI AD, TNI AL, TNI AU, bersama-sama membersihkan TNI dari pengaruh PKI," kata dia, Minggu (26/9/2023).
Terpisah, Jenderal Dudung Abdurachman yang saat itu masih menjabat sebagai Pangkostrad, membantah tudingan Gatot.
Ia menilai pernyataan Gatot tersebut merupakan tuduhan yang keji.
"Itu sama sekali tidak benar. Itu tudingan yang keji terhadap kami," kata Dudung.
Dudung menjelaskan, penghilangan diorama G30 S terjadi atas permintaan penggagasnya, yaitu Pangkostrad ke-34, Letjen TNI (Purn) Azmyn Yusri Nasution.
Ilham Aidit: Negara Masih Berutang Maaf
Efek domino G30 S masih dirasakan oleh warga negara Indonesia yang merupakan keturunan atau terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan PKI.
Laporan akhir dan rekomendasi Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM), telah mengategorikan peristiwa G30 S sebagai satu di antara 12 pelanggaran HAM berat.
Atas rekomendasi itu, pemerintah periode ini secara resmi mengakui adanya pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk peristiwa pasca-30 September 1965.
Namun, pengakuan itu dianggap keluarga korban belum lengkap lantaran tak diiringi permintaan maaf.
"Yang pasti sekarang belum adanya pernyataan meminta maaf."
"Sebetulnya perkataan mengakui pada saat itu harus dilanjutkan dengan perkataan minta maaf," ujar Ilham Aidit.
Baca juga: Ilham Aidit Sebut Persekusi dan Stigmatisasi Eks PKI Masih Terjadi Hingga Saat Ini
Putra DN Aidit itu berujar permintaan maaf diibaratkan utang sejarah yang diwariskan negara, sama seperti utang uang.
Artinya, permintaan maaf mesti dilakukan lembaganya, bukan hanya perorangan atau rezim yang kala itu memimpin.
"Harus diselesaikan. Enggak bisa bilang 'Saya kan juga menumbangkan Soeharto, maka saya tidak meminta maaf.' Tidak!" katanya.
Pernyataan itu seolah menjawab ucapan pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, dalam pertemuannya dengan para eksil di Belanda pada Minggu (27/8/2023) lalu.
Mulanya, seorang eksil bernama Sungkono mengajukan pertanyaan kepada Mahfud mengenai permintaan maaf.
"Saya merasa pernyataan Pak Jokowi masih belum lengkap. Kalau sudah mengakui dosa sekian besarnya, kok tanpa minta maaf, hanya menyesali?" ujar Sungkono dalam acara pertemuan tersebut.
Menanggapi itu, Mahfud berujar pemerintah periode kini bukanlah pelaku pelanggaran HAM berat, terutama pasca-30 Septembe 1965.
Bahkan dia dan kawan-kawannya termasuk yang menumbangkan pemerintahan yang saat itu berkuasa, yakni orde baru yang dipimpin Soeharto.
"Lalu kita disuruh meminta maaf kepada siapa, wong kita sudah turunkan mereka yang seharusnya minta maaf."
"Seharusnya mereka yang meminta maaf kepada kita, bukan malah kita juga disuruh meminta maaf. Itu terbalik dan itu dalam pikiran kami," ujarnya dalam acara yang sama.
Sebagian artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Anak DN Aidit: Negara Berutang Maaf pada Keluarga Korban Pelanggaran HAM Berat
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W/Willy Widianto/Ashri Fadilla/Facundo Chrysnha, Kompas.com)