MK Tolak Gugatan Uji Formil UU Cipta Kerja, Buruh Kecewa hingga Ancam Mogok Kerja Nasional
Gugatan uji formil UU Cipta Kerja ditolak MK, buruh sempat mengancam akan mogok kerja.
Penulis: Nuryanti
Editor: Nanda Lusiana Saputri
TRIBUNNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Omnibus Law UU Cipta Kerja dalam perkara nomor 54/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh 15 kelompok serikat pekerja.
Putusan itu disampaikan Ketua MK, Anwar Usman, dalam sidang di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (2/10/2023).
MK menilai permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Anwar Usman, Senin.
Adapun gugatan ini dimohonkan oleh FKSPN, FSPFK KSPSI, FSPKED KSPSI, FSPLEM SPSI, FSPPEK KSPSI, FSP Pelita Mandiri Kalbar, FSPPP, KBMI, KSPSI, PPMI, SBSI '92, FSP RTMM, dan ASPI.
Baca juga: Tidak Beralasan Menurut Hukum, Semua Gugatan Terkait UU Cipta Kerja Ditolak MK
Disebut Lukai Rasa Keadilan Buruh
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Andi Gani Nena, mengaku kecewa atas keputusan MK yang menolak gugatan buruh.
Padahal, Andi sempat yakin MK akan menerima gugatan konfederasi yang diajukan oleh buruh.
"Saya yang memimpin langsung ribuan massa buruh di Patung Kuda meminta massa tidak melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum walaupun putusan MK sangat menyakiti buruh," jelasnya melalui keterangan resmi, dikutip Senin (2/10/2023), seperti diberitakan Kompas.com.
Nantinya, Andi berencana melakukan konsolidasi untuk menyiapkan gugatan materil terhadap UU Cipta Kerja.
"Karena, putusan MK ini terbukti tidak bulat. Ada empat hakim MK yang menyatakan perbedaan pendapatnya," terang dia.
Buruh Ancam Mogok Kerja
Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, sebelumnya berharap MK mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Said Iqbal mengatakan, para buruh berencana menggelar aksi serupa jika keputusan hakim MK tak sesuai harapan mereka.
"Bilamana hakim Mahkamah Konstitusi tidak memberikan keputusan sesuai dengan harapan, maka para buruh dan kelas pekerja lainnya. Kami akan melakukan aksi-aksi di seluruh Indonesia. Bergelombang sampai dengan dimenangkannya UU Cipta Kerja," ujarnya di Kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Senin (2/10/2023).
Baca juga: MK Tolak Uji Formil UU Cipta Kerja, Ini Pasal-pasal yang Dianggap Bermasalah oleh Buruh
Selanjutnya, menurut Said Iqbal, tidak menutup kemungkinan akan ada aksi mogok kerja secara nasional.
"Jadi bergelombang aksi ini, tidak hari ini saja dan seluruh Indonesia."
"Tidak menutup kemungkinan sedang dipertimbangkan untuk mogok kerja secara nasional. Yang akan diorganisir oleh partai buruh dan serikat buruh," jelasnya.
Disebut Bikin Buruh Jadi Tenaga Outsourcing Seumur Hidup
Said Iqbal sempat mengungkapkan, Omnibus Law UU Cipta Kerja harus ditolak oleh komunitas buruh karena membuat buruh jadi tenaga outsourcing seumur hidup tanpa masa depan jelas.
"Yang kita persoalkan satu UU Ciptaker ini akan membuat outsourcing seumur hidup," ujarnya di sela aksi demonstrasi buruh menuntut pencabutan UU Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Selasa.
Said Iqbal melanjutkan, buruh juga mempersoalkan besaran upah di UU Cipta Kerja.
"Boleh jadi dalam tiga empat tahun tidak akan ada kenaikan upah."
"Padahal PNS, TNI, Polri kita setuju naik 7-8 persen."
"Maka upah buruh nantinya akan naik di atas 8 persen karena ada istilah indeks tertentu," papar dia.
Baca juga: Demo UU Cipta Kerja, Massa Buruh Bakar Spanduk Ukuran Besar Bergambar 9 Hakim Mahkamah Konstitusi
Sebagai informasi, dalam pertimbangannya soal dalil pengesahan Perppu 2/2022 menjadi Undang-undang dilakukan di luar masa sidang DPR, MK menyatakan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 merupakan landasan bagi presiden untuk menetapkan Perppu ketika terjadi hal kegentingan yang memaksa.
Perppu, kata MK, harus ditindaklanjuti oleh DPR sebagaimana adressat norma Pasal 22 ayat (2) UUD 1945.
MK menyatakan bahwa sifat situasi kegentingan yang memaksa, maka penetapan Perppu maupun dalam proses persetujuan di DPR tidak relevan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna.
Sehingga, persetujuan DPR dalam kerangka menjalankan fungsi pengawasan sejatinya merupakan representasi dari kehendak rakyat.
MK juga melihat adanya itikad baik presiden yang mengajukan RUU 6/2023 di penghujung masa sidang II DPR untuk segera mendapat kepastian hukum terhadap Perppu.
Sementara tenggat waktu yang disediakan yakni sampai berakhirnya masa sidang III DPR, karena Perppu tersebut harus lebih dulu diajukan oleh presiden ke DPR.
"Sehingga dalam batas penalaran yang wajar Mahkamah dapat menerima rangkaian tahapan proses pembahasan sampai dengan persetujuan yang telah dilakukan DPR sebagaimana fakta hukum secara kronologis," ungkap Hakim Konstitusi Daniel Yusmic.
Baca juga: Bawa Spanduk Jumbo, Massa Buruh Kawal Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja di MK Terus Bertambah
Atas hal ini, MK menyatakan dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum.
MK juga menyatakan berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut, UU 6/2023 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Dengan demikian dalil-dalil permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," kata Hakim Konstitusi Guntur Hamzah.
(Tribunnews.com/Nuryanti/Danang Triatmojo/Rahmat Fajar Nugraha/Rahmat Fajar Nugraha) (Kompas.com/Xena Olivia)