Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

MK Tolak Uji Formil UU Cipta Kerja, Ini Pasal-pasal yang Dianggap Bermasalah oleh Buruh

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak permohonan pemohon mengenai gugatan uji materi Undang-undang (UU) Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023.

Penulis: Muhamad Deni Setiawan
Editor: Nuryanti
zoom-in MK Tolak Uji Formil UU Cipta Kerja, Ini Pasal-pasal yang Dianggap Bermasalah oleh Buruh
Tribunnews/Rahmat Fajar Nugraha
Massa aksi buruh dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) di aksi demo mengawal pembacaan putusan uji formil UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi, Senin, 2 Oktober 2023. Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak permohonan pemohon mengenai gugatan uji materi Undang-undang (UU) Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023. 

TRIBUNNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pemohon mengenai gugatan uji materi Undang-undang (UU) Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023.

Sidang putusan itu digelar di Gedung MK, Jakarta, pada hari ini, Senin (2/10/2023).

"Amar putusan mengadili menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ungkap Hakim Ketua MK Anwar Usman, dikutip dari YouTube Mahkamah Konstitusi, Senin.

Keputusan tersebut diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi.

Baca juga: BREAKING NEWS Kawal Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja, Massa Buruh Saling Bentrok di Patung Kuda

Namun, dalam memutuskan hal ini, diketahui terdapat perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari empat orang Hakim MK.

Mereka adalah Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Suhartono.

Tetapi, sebenarnya poin-poin apa saja yang dianggap "bermasalah" oleh para buruh? Simak penjelasannya di bawah ini sebagaimana dirangkum Tribunnews.com:

Aksi demonstrasi buruh menuntut pencabutan UU Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Senin, 2 Oktober 2023.
Aksi demonstrasi buruh menuntut pencabutan UU Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Senin, 2 Oktober 2023. (Tribunnews/Rahmat Fajar Nugraha)
BERITA REKOMENDASI

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Melalui Pasal 58 Ayat 1 dan Pasal 59 Ayat 1, karyawan berpotensi dikontrak berkali-kali karena tidak adanya batasan periode kontrak kerja.

Pasal 58 ayat 1 berbunyi: Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.

Sementara pasal 59 ayat 1 berbunyi: Perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut

a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya:


b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;

c. pekerjaan yang bersifat musiman;

d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau

e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap. 

2. Outsourcing

Ketentuan di Pasal 64 Ayat 1 menyebabkan tidak adanya batasan jenis pekerjaan outsourcing.

Padahal dalam aturan lama, buruh outsourcing hanya mengerjakan kegiatan penunjang dan tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

"Yang kita persoalkan satu UU Ciptaker ini akan membuat outsourcing seumur hidup," kata Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, ditemui di sela aksi demonstrasi buruh menuntu pencabutan UU Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Selasa (2/10/2023).

3. Pesangon Berubah

Pasal 156 dalam UU Cipta Kerja menghapus Pasal 164 UU Ketenagakerjaan.

Hal tersebut menyebabkan berubahnya besaran uang pesangon sesuai masa kerja yang lebih rendah dibandingkan peraturan sebelumnya, yaitu UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

4. Upah Minimum

Pasal 88D Ayat 2 UU Cipta Kerja berbunyi sebagai berikut.

"Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu."

Ketidakjelasan atas variabel "indeks tertentu" tersebut berpotensi pada formula penetapan UMP bisa berubah kapan saja.

Hal tersebut membuat para buruh merasa dirugikan karena tidak ada kepastian soal upah.

Tuntutan Kenaikan Upah

Partai Buruh menuntut kenaikan upah minimum tahun 2024 sebesar 15 persen.

"Bisa dipastikan dalam istilah kami api tersiram bensin. Apinya itu Omnibus Law UU Cipta Kerja, bensinnya kenaikan upah minimum yang kami minta naik 15 persen," kata Said Iqbal.

Mengenai frasa "indeks tertentu" dalam Pasal 88D Ayat 2, Said Iqbal menyebut itu bisa menyebabkan buruh tak akan mendapatkan kenaikan upah. 

"Boleh jadi dalam tiga empat tahun tidak akan ada kenaikan upah. Padahal PNS, TNI, Polri kita setuju naik 7-8 persen," terang Said Iqbal.

"Maka upah buruh nantinya akan naik di atas 8 persen karena ada istilah indeks tertentu," sambungnya.

Ia menegaskan, tidak adil jika gaji buruh tidak dinaikkan.

"Ini tidak adil, PNS, TNI, Polri naik 8 persen kita setuju, Partai Buruh setuju. Tapi kita semua termasuk kawan-kawan naiknya di bawah 8 persen," sambungnya.

Said Iqbal menilai, padahal kelas pekerja terutama buruh menyumbangkan Produk Domestik Bruto (PDB).

"Sedangkan PNS, TNI, Polri bukan profit center. Kita profit center, kita yang menghasilkan pajak. Kita yang menghasilkan PDB. Masa naiknya di bawah delapan persen," tegasnya.

(Tribunnews.com/Deni/Rifqah/Choirul Arifin/Rahmat Fajar Nugraha)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas