Poin Pertimbangan MK Tolak Gugatan Buruh Terhadap Uji Formil UU Ciptaker
MK nyatakan UU 6 Tahun 2023 tentang penetapan Perppu No 2 Tahun 2022 tak melanggar ketentuan perundang-undangan.
Penulis: Milani Resti Dilanggi
Editor: Nanda Lusiana Saputri
MK menyatakan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 merupakan landasan bagi presiden untuk menetapkan Perppu ketika terjadi hal kegentingan yang memaksa.
Bunyi pasal: "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang," demikian bunyi Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
Perppu kata MK, harus ditindaklanjuti oleh DPR sebagaimana adressat norma Pasal 22 ayat (2) UUD 1945.
Kegentingan itu berupa krisis global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia akibat situasi geopolitik yang tidak menentu.
MK mencontohkan, dampak adanya Perang Rusia-Ukraina serta situasi pasca krisis ekonomi yang terjadi karena adanya pandemi Covid-19.
Baca juga: Pakar Hukum: Implementasi Keputusan MK pada Perppu Cipta Kerja Tak Melanggar Konstitusi
Ketiga, soal gugatan para pemohon yang menyebut bahwa tidak adanya partisipasi publik dalam pembentukan UU Ciptaker juga dijawab MK.
MK menyatakan, bahwa proses Perppu kemudian disahkan menjadi UU dalam keadaan genting yang memaksa, sehingga tidak relevan jika melibatkan partisipasi masyarakat.
Menurut MK, DPR sebagai lembaga yang mengesahkan UU telah merepresentasikan suara rakyat.
"Tidak relevan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna secara luas karena situasi kegentingan yang memaksa, sehingga persetujuan DPR dalam kerangka menjalankan fungsi pengawasan yang sejatinya merupakan representasi dari kehendak rakyat," ucap Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Keempat, soal naskah akademik MK mengatakan bahwa dalam penetapan Perppu menjadi UU tak perlu disertai naskah akademik.
Hal itu, kata MK, berdasarkan Pasal 43 ayat (4) angka 2 UU 12/2011.
MK menjelaskan bahwa pembentukan UU yang berasal dari Perppu hanya terdiri dari beberapa tahap.
Di antaranya, tahap penyusunan, pembahasan, persetujuan dan pengundangan tanpa tahap perencanaan.
"Sehingga dalam batas penalaran yang wajar Mahkamah dapat menerima rangkaian tahapan proses pembahasan sampai dengan persetujuan yang telah dilakukan DPR sebagaimana fakta hukum secara kronologis," ujar Hakim Konstitusi Daniel Yusmic.