Bisakah Jokowi yang Bukan dari Trah Soekarno Gantikan Megawati Jadi Ketum PDIP? Ini Kata Pengamat
Pengamat Politik UGM, Nyarwi Ahmad buka suara soal peluang Jokowi yang diusulkan menjadi Ketum PDIP menggantikan Megawati Soekarnoputri.
Penulis: Faryyanida Putwiliani
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Belakangan ini muncul wacana Presiden Jokowi menggantikan Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP).
Namun kini yang menjadi pertanyaan adalah apakah posisi Megawati sebagai Ketum PDIP bisa tergantikan?
Lalu apakah PDIP bisa dipimpin oleh sosok yang bukan berasal dari trah Soekarno?
Mengingat PDIP sendiri sangat erat hubungannya dengan keluarga Presiden pertama Indonesia Ir Soekarno.
Pengamat Politik UGM, Nyarwi Ahmad mengatakan, untuk saat ini, Megawati adalah sosok yang memiliki peran yang luar biasa dan tak tergantikan di internal PDIP.
Tak heran Megawati kini menjadi sosok yang terlama menjabat sebagai Ketum PDIP.
Baca juga: Wacana Jokowi Bisa Gantikan Megawati jadi Ketum PDIP, FX Rudy: Setuju, Tapi . .
Selain itu, para pengurus PDIP pun telah mengakui Megawati ini adalah representasi dan pengikat dari PDIP ini sendiri.
"Kalau melihat kondisi politik hari ini, Bu Mega adalah tokoh PDIP, Ketum PDIP yang lama, terlama bahkan di beberapa partai, sampai hari ini perannya luar biasa dan tidak tergantikan di internal PDIP saya lihat."
"Tadi diakui oleh pengurus partai termasuk Sekjen kan dia menjadi representasi, bonding, pengikat partai ini," kata Nyarwi dalam tayangan Program 'Sapa Indonesia Malam' Kompas TV, Selasa (3/10/2023).
Lebih lanjut Nyarwi juga menilai, PDIP ini sangat bergantuk pada sosok Megawati sebagai brand dari partai.
Baca juga: Profil Guntur Soekarno, Sosok yang Berharap Jokowi Jadi Ketum PDIP Penerus Megawati
Namun hal itu bisa memberikan efek positif dan negatif bagi PDIP sendiri.
"PDIP ini saya lihat sangat tergantung pada Bu Mega sebagai brand dari partai ini sendiri. Ini juga ada plus minusnya, sebuah partai yang sangat bergantung pada satu tokoh, tanpa memikirkan regenerasi di masa depan."
"Itu juga ada kemungkinan risiko ketika terjadi tarik ulur kepentingan yang berhasil atau gagal untuk dimanajemen," ungkap Nyarwi.
Selanjutnya Nyarwi merasa wacana Jokowi menjadi Ketum PDIP ini merupakan usulan yang menarik.
Baca juga: Respons Sekjen PDIP soal Isu Jokowi Jadi Ketum PDIP: Itu Provokator Politik, Bu Mega jadi Pemersatu
Pasalnya wacana tersebut menandakan adanya demokrasi internal yang terjadi di PDIP.
Nyarwi juga merasa, sebenarnya siapapun yang memiliki peluang bisa saja menjadi Ketum PDIP.
Terlepas dari mitos yang menyebut bahwa PDIP bisa besar seperti sekarang ini karena dipimpin oleh trah Soekarno.
"Tapi menarik ya wacana Pak Jokowi diusulkan sebagai Ketum, ini memunculkan adanya demokrasi internal di PDIP. Yang saya kira siapapun yang punya peluang bisa menjadi ketua umum."
Baca juga: Ganjar Pranowo soal Jokowi Diusulkan Jadi Ketum PDIP: Relawan Jangan Campuri Urusan Partai
"Karena selama ini kan ada semacam mitos pasca reformasi, kira-kira PDIP kalau tidak dipimpin oleh trah Soekarno itu kekuatannya tidak seperti sekarang ini."
"Kalau pertanyaannya seandainya ada eksperimen dimana PDIP dipimpin oleh tokoh bukan dari trah Soekarno, kira-kira seperti apa. Itu kan juga sebuah eksperimen," jelas Nyarwi.
Terakhir Nyarwi menuturkan, meski usulan Jokowi menjadi Ketum PDIP ini hanya sebuah wacana, ia merasa PDIP perlu memikirkannya.
Termasuk soal model leadership yang dibutuhkan PDIP agar bisa tetap eksis dan memiliki peran signifikan di demokrasi dan politik Indonesia.
Baca juga: Isu Jokowi Gantikan Megawati Jadi Ketum PDIP, Projo: Itu Isu Adu Domba, Menyesatkan dan Murahan
Megawati Singgung Orang Luar Tak Bisa Jadi Ketua Umum PDIP
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menegaskan bahwa kaderisasi dan suksesi kepemimpinan di PDIP tetap berjalan dan harus mematuhi aturan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai.
Megawati juga menyinggung soal opini kakaknya, Guntur Soekarnoputra, yang menyebutkan kelanjutan karir politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah lengser, dan peluangnya untuk menjadi ketua umum PDIP.
Megawati menanggapi wacana Guntur dengan menyebutkan tiadanya peluang pihak yang disebutnya “orang lain atau orang luar” untuk menjadi ketua umum, karena dinilainya akan melanggar AD/ART PDIP.
Ia menyebutkan untuk menjadi ketua umum PDIP, harus terlebih dahulu menjadi kader partai itu, bukan orang luar PDIP.
Merespons hal itu, Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam menilai pernyataan Megawati tersebut sebagai sebuah “sentilan” yang dialamatkan kepada keluarga Jokowi.
Baca juga: Dukung Jokowi Jadi Ketum PDIP, Kami-Ganjar Dituding Ganjarist sebagai Relawan Siluman
“Merupakan "sentilan karambol", di mana satu hantaman tapi dua pihak terkena pukulan. Statement Mega itu tampaknya memang dialamatkan kepada keluarga Jokowi," kata Khoirul Umam dalam keterangannya, Senin (2/10/2023).
Umam menduga kalimat Megawati berkaitan dengan peristiwa manuver politik anak bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, yang lebih memilih bergabung dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), juga lantas menjadikannya sebagai Ketua Umum PSI.
“Itu besar kemungkinan ditujukan pada manuver politik Kaesang di PSI, yang dinilai tidak sesuai dengan model kaderisasi ala PDIP."
"Bagi Megawati, proses penetapan figur politisi sebagai ketua umum partai politik ala Kaesang dinilainya merepresentasikan pola rekrutmen dan kaderisasi yang karbitan dan tidak mencerminkan nilai-nilai perjuangan, loyalitas dan kegigihan yang ditanamkan PDIP," papar dosen senior Departemen Ilmu Politik dan Studi Internasional Universitas Paramadina Jakarta ini.
Baca juga: Nama Kuat Non-Trah Soekarno di Bursa Ketum PDIP : Jokowi dan Budi Gunawan
Terlepas dari itu, sambung Umam, pernyataan ini menegaskan bahwa Megawati ternyata memang memiliki perhatian besar terhadap manuver politik Kaesang di PSI tersebut.
Dalam tradisi politik Jawa, lanjutnya, bisa jadi sentilan Megawati ini merupakan manifestasi kemarahan dan kekecewaan Megawati yang disampaikan dengan ekspresi sentilan yang diperhalus, terhadap Kaesang dan keluarga Jokowi yang mengabaikan AD/ART PDIP dan lebih memilih PSI.
“Selain itu, statement Megawati itu juga bisa jadi dialamatkan kepada Jokowi yang beberapa hari lalu namanya diusulkan oleh Guntur Soekarnoputra sebagai ketua umum PDIP selanjutnya, menggantikan Megawati."
"Jika benar, maka statemen Megawati ini bisa dimaknai sebagai penolakan terhadap usulan Guntur tersebut”, imbuh Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) ini.
Menurut Umam, sejak awal Megawati telah mewanti-wanti para kadernya, termasuk Capres Ganjar Pranowo, untuk tidak ikut campur dalam suksesi kepemimpinan PDIP.
Baca juga: Puan Maharani Dinilai Tepat Jadi Ketum PDIP setelah Megawati, Namun Belum Pasti untuk Pilpres 2024
Hal itu konon, tambahnya, termaktub dalam dokumen perjanjian yang ditandatangani Ganjar saat menerima mandat sebagai Capres dari PDIP.
“Selain itu, usulan Guntur juga dipandang agak bias kepentingan dan subjektivitas politik pribadinya yang terkesan ingin membersihkan PDIP dari trah keluarga Megawati," terang Umam.
Sehingga Umam melihat sebagai sebuah hal yang wajar, jika sejak awal Guntur yang juga merupakan anggota keluarga besar Soekarno, berani menolak secara mentah-mentah rencana pencapresan atau pencawapresan Puan Maharani.
“Karena itu, dalam konteks suksesi kepemimpinan PDIP, Megawati benar-benar menekankan pentingnya proses kaderisasi berjenjang di PDIP, sehingga dalam berbagai kesempatan Megawati dan PDIP menyebut Jokowi sebagai petugas partai. Jika Jokowi justru terpancing mengikuti masukan Guntur, maka ia bisa dituduh "dikasih hati malah minta jantung"," pungkas Umam.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Reza Deni)