Gubernur Lemhannas Wanti-Wanti Adopsi Teknologi dari Pengusung yang Tidak Terlalu Peduli Demokrasi
Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto mewanti-wanti untuk mengadopsi teknologi dari pengusung yang tidak terlalu peduli dengan demokrasi.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto mewanti-wanti untuk mengadopsi teknologi dari pengusung yang tidak terlalu peduli dengan demokrasi.
Awalnya, Andi menjelaskan peta mengenai situasi geo digital terkini.
Berdasarkan peta geo digital yang dibuatnya, negara-negara yang dianggap memiliki keunggulan-keunggulan teknologi digital adalah AS dan China.
Apabila dikaitkan dengan tema seminar Kepemimpinan Digital dan Konsolidasi Demokrasi yang digelar PPSA XXIV, maka dapat terlihat satu negara di antaranya demokratis dan satu lagi tidak demokratis.
Kedua negara tersebut, kata dia, merupakan raksasa IT.
Pada akhir paparannya, ia mewanti-wanti apabila Indonesia ingin melakukan adopsi teknologi.
Hal tersebut disampaikannya usai acara Seminar Nasional PPSA XXIV bertajuk Kepemimpinan Digital dan Konsolidasi Demokrasi di Lemhannas RI Jakarta Pusat pada Selasa (3/10/2023).
"Kalau dilihat dari korelasi datanya, ternyata raksasa digital dunia itu belum tentu punya korelasi dengan perkembangan demokrasi di negara tersebut. Jadi hati-hati juga nanti ketika kita mengadopsi teknologi, ternyata pengusung teknologinya nggak peduli-peduli amat tentang demokrasi," kata dia.
Andi kemudian membeberkan situasi geo digital yang lebih luas saat ini.
Apabila dirunut ke hulu industri teknologi, kata dia, semua perusahaan teknologi membutuhkan semikonduktor.
Untuk membuat semikonduktor, kata dia, membutuhkan dua yang mineral kritis yakni galium dan jermanium.
Selain itu, kata dia, 60 persen produksi galium di dunia dan 98% produksi jermanium di dunia berada di China.
Kemudian, kata dia, pada 1 Agustus 2023 China membuat larangan ekspor.
Jika ada satu negara ingin membeli galium dan jermanium dari China, kata dia, maka harus lolos verifikasi keamanan nasional China.
Negara-negara yang sedang melakukan perang teknologi dan perang dagang dengan China kemudian, kata dia, panik.
Baca juga: Lemhannas RI Buka 32 Formasi PPPK 2023, Ini Besaran Gaji dan Syaratnya
Setelah China, raksasa-raksasa teknologi berikutnya adalah gabungan dari negara-negara Eropa di antaranya Finlandia dengan Nokianya, Belanda dengan mesin pembentuk semikonductornya, dan beberapa perusahaan di Jerman, Inggris.
Kemudian, kata dia, penguasa gadget dan infrastruktur berada di Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang.
"Kalau kita berbicara tentang kepemimpinan digital, kita ingin nanti membicarakan ChatGPT misalnya yang ada algoritma, di belakangnya ada server, ada fiber optic, ada cloud computing, nanti lompat menjadi quantum computing, kita ke belakangnya akan bicara semi conductor, galium, dan germanium," kata dia.
"Lalu kemudian kepemimpinan digital seperti apa yang mau kita hasilkan pada saat dunianya sudah terpilah keras seperti ini? Dengan catatan ada satu negara yang teknologi digitalnya tidak ada korelasinya dengan demokrasi. Ada Rusia juga yang digitalnya sangat-sangat bagus, tidak ada korelasi antara digital dan demokrasi," sambung dia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.