Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sidang UU ITE Haris-Fatiah di MK, DPR Sebut Ada Perubahan Paradigma dalam KUHP Baru

Taufik mengatakan, KUHP juga menganut batasan-batasan yang tegas terkait dengan perlindungan kebebasan berpendapat dari masyarakat

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Erik S
zoom-in Sidang UU ITE Haris-Fatiah di MK, DPR Sebut Ada Perubahan Paradigma dalam KUHP Baru
Tribunnews/Igman Ibrahim
Anggota DPR RI memberikan keterangan dalam sidang perkara nomor 78/PUU-XXI/2023, di Mahkamah Konstitusi (MK) 

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPR RI memberikan keterangan dalam sidang perkara nomor 78/PUU-XXI/2023, di Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal ini terkait pengujian materiil Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan juncto UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946); Kitab Undang-Undang-Undang Hukum Pidana; dan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Perwakilan DPR, Anggota Komisi III DPR Taufik Basari memberikan keterangan terhadap gugatan uji materiil pasal tersebut yang salah duanya, dimohonkan oleh pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.

Baca juga: Kepala PPATK Pertama Bakal Bersaksi di Persidangan Haris Azhar-Fatia vs Luhut Binsar Pandjaitan

Dalam keterangannya, Taufik mengatakan, berdasarkan politik hukum pembentukan KUHP Nasional melalui UU Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP, maka telah terdapat perubahan paradigma yang mendasar dari KUHP yang saat ini berlaku dan ketentuan pidana dlm UU ITE dengan KUHP Nasional yang akan berlaku pada tanggal 2 Januari 2026 mendatang.

Ia menuturkan, politik hukum pembentukan KUHP Nasional lebih menekankan pada tujuan pemidanaan yang lebih humanis dengan menerapkan pendekatan keadilan restoratif dan meninggalkan kebiasaan pendekatan keadilan retributif.

Hal tersebut, menurutnya, juga ditunjukkan dengan diaturnya jenis tindak pidana baru, berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial yang diberlakukan untuk perampasan kemerdekaan jangka pendek atau short prison sentence.

Berita Rekomendasi

"KUHP juga memiliki visi pembaharuan KUHP yang di antaranya dekolonialisasi dan demokratisasi yang keduanya berakar dari keinginan menggantikan hukum kolonial yang kurang menjamin perlindungan HAM," kata Taufik, dalam sidang beragendakan mendengar keterangan Pemerintah dan DPR, dikutip dari laman YouTube MKRI, Senin (9/10/2023).

Taufik mengatakan, KUHP juga menganut batasan-batasan yang tegas terkait dengan perlindungan kebebasan berpendapat dari masyarakat. 

Hal itu, dijelaskannya, tercermin dari pembatasan dalam pasal penghinaan yang memuat alasan pemaaf dalam hal perbuatannya dilakukan untuk kepentingan umum. 

Baca juga: Besok Haris Azhar dan Fatia Bawa 2 Saksi Meringankan di Sidang Pencemaran Nama Baik Luhut

"Dalam hal ini termasuk kritik, pendapat opini, hasil penelitian sebuah kondisi atau lembaga atau orang atau pejabat yang berhubungan dengan kepentingan umum tidak dapat dipidana," jelas Taufik.

Lebih lanjut, Taufik mengatakan, pengetatan untuk memastikan perlindungan HAM juga tercantum dalam ketentuan mengenai penyiaran atau penyebarluasan berita bohong yang memperketat frasa 'keonaran' menjadi 'kerusuhan'. 

"Dengan batasan, 'kerusuhan' adalah suatu kondisi yg menimbulkan kekerasan terhadap orang atau barang yang dilakukan oleh sekelompok orang paling sedikit 3 orang," ucap Taufik.

"Sehingga keadaan tersebut harus merupakan keadaan yang terjadi di dunia nyata, bukan di media sosial atau elektronik," sambungnya.

"Kerusuhan itu juga merupakan suatu kondisi yang tidak dibuat-buat oleh kelompok tertentu, sehingga murni dari adanya penyiaran atau penyebarluasan berita bohong tersebut."

Lanjutnya, berita bohong juga harus dimaknai sebagai sebuah informasi yang memang oleh pembuat disengaja tidak sesuai dengan fakta, atau tidak pasti, atau tidak lengkap dan bukan dihasilkan dari sebuah penilaian, pendapat hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Baca juga: Fatia Tegaskan Dirinya Tak Membayar ataupun Dibayar Haris Azhar Terkait Podcast Lord Luhut

Taufik kemudian menjelaskan, sebagai hukum yang akan diberlakukan kemudian, KUHP Nasional telah mengonsolidasikan beberapa pasal-pasal yang perlu diperbaharui, melalui KUHP maupun UU lainnya.

"Melalui penghapusan maupun penataan ulang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat, serta ketentuan pemidanaan mengakomodir asas Lex Certa (hukum harus jelas/tidak ambigu) dan Lex Stricta (hukum tidak boleh ditafsirkan secara analogi) serta pemenuhan keadilan. Sedangkan demikian, terdapat relevansi keberlakuan KUHP nasional dengan permohonan a quo," ucapnya.

Taufik berharap, dengan adanya perubahan paradigma KUHP Nasional yang menjadi politik hukum pidana Indonesia yang baru, MK melalui penafsiran konstitusionalnya dapat menyatakan hal tersebut sebagai panduan hukum bagi para aparat penegak hukum.

"Menyatakan bahwa politik hukum pidana dengan paradigma baru sebagaimana yang menjadi landasan KUHP Nasional ini selama masa transisi keberlakuan KUHP Baru agar menjadikannya sebagai pedoman, rujukan, dan panduan bagi aparat penegak hukum dan badan peradilan dalam menerapkan pasal-pasal pidana termasuk pasal-pasal yang menjadi objek pengujian in casu," terang Taufik.

Dalam permohonannya, Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanti selaku Pemohon I dan Pemohon II merasa hak konstitusionalnya dirugikan secara konkret akibat ketentuan pasal-pasal yang diuji. 

"Para Pemohon menilai keberadaan pasal-pasal yang diuji dalam permohonan justru menghambat dan mengkriminalisasi para Pemohon yang mempunyai fokus kerja yang berhubungan dengan pemajuan hak asasi manusia dan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)," demikian bunyi permohonan Para Pemohon, dikutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi, Senin (9/10/2023).

Selain itu, para Pemohon juga mendalilkan pasal a quo nyatanya digunakan untuk mengkriminalisasi pihak yang kritis terhadap pejabat negara maupun kebijakan pemerintah.

"Dalam hal ini, Pemohon I dan Pemohon II terbukti bahwa aparat penegak hukum lebih mengutamakan proses pidana terhadap Pemohon I dan Pemohon II dibanding menindaklanjuti, memeriksa, mengadili perkara yang sejatinya menjadi pokok substansi masalah," tulis MK.

Melalui petitum provisinya, para pemohon meminta agar Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan Provisi Para Pemohon. 

Selanjutnya, mereka juga memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk menghentikan dan menunda pemeriksaan perkara No. 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim dan No. 203/Pid.Sus/2023/PNJkt.Tim., sampai pengujian UU ITE di Mahkamah Konstitusi yang diajukan pemohon ini diputus MK.

Tak hanya itu, para pemohon juga meminta agar pasal-pasal yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Untuk diketahui, sebelumnya sidang mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah terkait gugatan ini digelar, pada Rabu (20/9/2023) lalu. Namun, Ketua MK Anwar Usman menyatakan sidang ditunda.

Hal itu dikarenakan, baik DPR dan Pemerintah menyatakan belum siap menyampaikan keterangannya masing-masing.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas