Sosok 4 Hakim MK yang Menolak Mengubah Syarat Usia Capres dan Cawapres
Adapun empat hakim MK yang melakukan dissenting opinion itu adalah Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Hasanudin Aco
Periode pertamanya adalah 1 April 2013 sampai dengan 1 April 2018. Di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ia mengucapkan sumpah jabatan sebagai satu dari sembilan pilar MK.
Arief menggantikan Menkopolhukam Mahfud MD yang mengakhiri masa jabatan sebagai hakim konstitusi yang telah diembannya sejak 2008. Kemudian periode Arief kedua dimulai 27 Maret 2018 sampai dengan 3 Februari 2026 mendatang.
Dalam rilis Indonesian Corruption Watch (ICW) pada 2018 lalu, pelantikan Arief untuk kembali menjadi hakim sempat menjadi sorotan.
Sebab bagi ICW pelantikan kembali itu dapat dipandang sebagai ketidakpedulian Jokowi terhadap pembusukan MK, manakala seorang hakim konstitusi yang sudah dua kali dijatuhi sanksi etik, kembali mengisi jabatan yang sama.
Masih dalam rilis ICW, diketahui Arief telah terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi dan dijatuhi sanksi ringan oleh Dewan Etik berupa teguran tertulis dan teguran lisan.
Kedua sanksi tersebut diberikan karena Arief terbukti telah memberikan katebelece kepada Mantan Jampidsus Widyopramono dan karena Arief Hidayat terbukti telah melakukan pertemuan secara tidak patut dengan Politisi DPR RI.
Suhartoyo
Suhartoyo juga saat ini menjabat sebagai hakim konstitusi dalam periode keduanya. Ia hakim yang diusulkan oleh MA dan dilantik pada untuk periode pertama pada 7 Januari 2015 dan berakhir 7 Januari 2020.
Periode kedua ia dilantik pada 7 Januari 2020 dan bakal berakhir pada 15 November 2029.
Dari data yang dihimpun, Björn Dressel dan Tomoo Inoue dalam kajian ilmiahnya di jurnal Constitutional Review pada bulan Desember 2018 menemukan Suhartoyo, bersama mantan hakim konstitusi I Dewa gede Palguna dan Ahmad Syarifuddin Natabaya, merupakan yang paling cenderung berpihak pada pemerintah dalam memutuskan sebuah perkara.
Kajian itu mencatat Suhartoyo berpihak kepada pemerintah dalam 52 persen kasus yang diadili oleh MK.
Ia juga tercatat sebagai salah satu dari lima hakim yang paling sering mengeluarkan dissenting opinion, yaitu pada 47 persen kasus di bawah mantan hakim Achmad Roestandi, Palguna, dan Natabaya.
Dalam pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Suhartoyo bergabung dengan mayoritas hakim yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut membatasi hak terpidana dalam meminta grasi, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam amar putusannya, Suhartoyo menegaskan bahwa grasi sangat penting "tidak hanya kepentingan terpidana", tetapi juga "untuk kepentingan negara terhadap besarnya beban politik yang ditanggung atas penghukuman terpidana yang mungkin ada kaitannya dengan tekanan rezim kekuasaan".