Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ratusan Anak Terjerat Kasus Hukum, Pendekatan Diversi Perlu Diutamakan demi Jaga Masa Depan Mereka

Data pada KPAI menyebutkan, selama periode 2016-2020 sebanyak 655 anak yang harus berhadapan dengan hukum karena menjadi pelaku kekerasan.

Editor: Choirul Arifin
zoom-in Ratusan Anak Terjerat Kasus Hukum, Pendekatan Diversi Perlu Diutamakan demi Jaga Masa Depan Mereka
dok. Kominfo
Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo Usman Kansong. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Para orangtua tentu menginginkan anak-anaknya tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang baik, menikmati layanan pendidikan dan terhindar dari kasus kejahatan dan pidana, baik sebagai korban atau pelaku.

Namun, perjalanan hidup terkadang tak selalu seindah yang diharapkan. Sejumlah anak Indonesia terpaksa berhadapan dengan hukum karena menjadi pelaku kejahatan. Kondisi dilematis ini tergambar pada data yang dipaparkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Data pada KPAI menyebutkan, selama periode 2016-2020 terdapat 655 anak yang harus berhadapan dengan hukum karena menjadi pelaku kekerasan. Rinciannya, 506 anak melakukan kekerasan fisik dan 149 anak melakukan kekerasan psikis.

Anak yang bertindak nakal dan berujung pada kejahatan merupakan fenomena yang memprihatinkan. Penanganannya bukan hanya menjadi tanggung jawab orangtua dan keluarga, namun juga menjadi tantangan besar.

Di sisi lain, selama menjalani proses hukum, anak tetap harus dilindungi hak-hak dan privasinya karena statusnya sebagai anak-anak.

Di Indonesia, peradilan terhadap anak diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-undang ini mengatur batasan usia anak yang terlibat dalam perkara hukum yakni mereka yang berusia 12 hingga kurang dari 18 tahun.

Sistem Peradilan Anak di Indonesia secara tegas menerapkan konsep keadilan restoratif dan proses diversi.

Berita Rekomendasi

Keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi yang mana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana berunding untuk mencari solusi dan merancang kewajiban tanpa berdasarkan pembalasan.

Adapun keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana yang melibatkan pelaku, korban, dan pihak-pihak terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

Baca juga: Dalami Kasus Dugaan Pidana Anak Anggota Polri yang Tabrak Pelajar, Polisi Terjunkan Tim Khusus

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Usman Kansong menyatakan, penerapan prinsip restoratif dan diversi bertujuan untuk menjaga kesehatan mental anak dengan menghindari stigmatisasi anak yang terlibat dalam masalah hukum.

Dengan begitu, si anak bisa kembali ke lingkungan sosial mereka tanpa takut dicap sebagai pelaku kejahatan.

Menurut Usman Kansong, ada beberapa tujuan dari proses diversi. Pertama, mencapai perdamaian antara korban dan anak. Kedua, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan. Ketiga, menghindarkan anak dari dari perampasan kemerdekaan.

Baca juga: Motif 2 Remaja Bunuh Arita & Sang Bayi, Sakit Hati Dimarahi Suami Korban Gara-gara Knalpot Bising

“Karenanya, dalam proses peradilannya, anak harus didampingi oleh pejabat yang memiliki pemahaman khusus tentang masalah anak. Bahkan, dalam penyelidikan perkara anak, penyidik wajib meminta pandangan dari pembimbing kemasyarakatan,” jelas Usman Kansong.

Usman Kansong juga menjelaskan, prinsip restoratif dan diversi ini terus disosialisasikan secara luas agar masyarakat memahami dan teredukasi tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Ini bertujuan agar Sistem Peradilan Pidana Anak dapat memprioritaskan perlindungan terhadap harkat dan martabat anak.

Halaman
12
Sumber: Sriwijaya Post
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas