Hasto PDIP Sebut Lakon Wahyu Cakraningrat Cermin Kondisi Politik Saat Ini
Hasto Kristiyanto mengatakan cerita lakon wayang Wahyu Cakraningrat merupakan cerminan kondisi politik saat ini.
Penulis: Fersianus Waku
Editor: Endra Kurniawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto mengatakan cerita lakon wayang Wahyu Cakraningrat merupakan cerminan kondisi politik saat ini.
Hal itu disampaikan Hasto saat menghadiri undangan wayangan dengan lakon Wahyu Cakraningrat dalam rangka peringatan sumpah pemuda di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Jakarta, Jumat (27/10/2023) malam.
Hasto menyebut Sumpah Pemuda adalah momentum refleksi untuk mengingat bahwa peranan pemuda dalam berdirinya negara Indonesia sangat fundamental.
Menurutnya, pagelaran wayang yang diadakan di ANRI ini untuk menggambarkan bagaimana kepeloporan para pemuda dalam menjadikan Indonesia yang satu.
"Dalam rangka Sumpah Pemuda diadakan pagelaran wayang kulit ini, untuk mengingat bahwa para pemuda Indonesia menjadi pelopor yang sangat baik bagi berdirinya Indonesia raya kita. Sebagai bangsa yang satu, tanah air satu, dalam persatuan Indonesia," kata Hasto.
Baca juga: Cerita 20 Tahun Perjalanan Karier Politik Jokowi, Hasto: Kasih Ibu Megawati Tak Pernah Berkesudahan
Hasto menjelaskan lakon Wahyu Cakraningrat yang diangkat dalam wayangan ini memiliki makna tentang karakter pemimpin yang dibutuhkan bangsa Indonesia.
Di mana, kepemimpinan itu hanya bisa hadir pada sosok satria yang rendah hati, tidak memiliki ambisi kekuasaan, dan dikawal oleh Punokawan.
Dalam lakon ini, ada tiga sosok satria yang disebutkan, yakni Raden Lesmono Mandrakumara, Raden Sombo Putro, dan Raden Abimanyu.
Hasto menjelaskan karakter yang berbeda-beda, tapi pada akhirnya wahyu itu hanya bisa diterima oleh pemimpin pilihan terbaik.
"Karakter (calon pemimpin) yang berbeda-beda, tapi yang memiliki keteguhan jiwa, kerendahan hati, dan tidak menempatkan kekuasaan sebagai ambisi dan itu yang dapat menerima wahyu," ucapnya.
Dia pun menyebut bagaimana wahyu kekuasaan juga bisa berpindah-pindah, dari sosok satu ke sosok yang lainnya, sesuai dengan amal perbuatan.
Sehingga, kata Hasto, pada akhirnya hanya yang bersifat, bersikap, dan bertindak kesatria lah yang menerima wahyu sejati.
Baca juga: Cerita Hasto soal Jabatan 3 Periode Permintaan Pak Lurah: Saya Pertanggungjawabkan di Hadapan Tuhan
"Wahyu berpindah dari sosok yang kemudian sejak kecil dimanja, sosok yang kemudian sangat sombong kemudian berpindah-pindah, dan akhirnya berdiam pada sosok satria yang menempatkan dedikasi pada bangsa dan negara," tuturnya.
Dia menerangkan penyiapan lakon wayangan ini sudah dirancang sejak 2 bulan yang lalu. Namun, ternyata ceritanya relevan dengan kondisi politik saat ini.
"Tapi ternyata dengan apa yang terjadi saat ini, ini menjadi suatu refleksi kehidupan tentang makna kekuasaan itu, tentang makna wahyu yang hanya bisa berdiam dalam diri seorang pemimpin apabila pemimpin ini betul-betul menjalankan kepemimpinannya untuk rakyat bangsa dan negara." ungkap Hasto.
"Ketika kepemimpinannya ini disalahgunakan untuk kepentingan yang lebih sempit, untuk kepentingan pribadi, apalagi dengan kesombongan, maka wahyu itu bisa berpindah," ucapnya menambahkan.