Maknai Sumpah Pemuda, Sirra Prayuna Singgung Pendidikan dan Kaitannya dengan Bernegara
Wakil Ketua Umum Front Kebangsaan, Sirra Prayuna maknai Sumpah Pemuda dengan menyinggung pendidikan dan kaitannya dengan bernegara.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Whiesa Daniswara
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Front Kebangsaan, Sirra Prayuna memaknai Hari Sumpah Pemuda dengan menyinggung pendidikan yang baik dan kaitannya dengan bernegara.
Ia mengatakan bahwa pendidikan yang baik adalah bagaimana mengarahkan pikiran untuk membangun kesadaran akal budi pekerti, dan memiliki keperibadian tangguh agar kelak dapat menjadi tauladan, serta menghargai sebuah proses hidup.
Menurutnya bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin visioner yang memiliki karakter dan akal sehat untuk mengelola kapal besar berisi 270 juta lebih rakyat agar tak ikut tenggelam oleh arus besar.
"Negara Indonesia membutukan pemimpin visioner yang tangguh dan memiliki kharakter dan kemampuan akal sehat untuk mengelola problematika kehidupan bernegara bangsa, sehingga kapal besar yang ditumpangi 270 juta lebih rakyat Indonesia tidak ikut tenggelam oleh arus besar karena salah dalam tata kelola," kata Sirra, Sabtu (28/10/2023).
Menurutnya pemuda harus diasah untuk memiliki pemikiran visioner, bukan menjadi calon pemimpin secara instan dengan memanfaatkan privilese atau hak istimewa kekuasaan.
Baca juga: Momen Sumpah Pemuda, Cakra Buana Siapkan Beasiswa Futsal Bagi Siswa Berprestasi
"Betapa naifnya jika kapal besar Indonesia dikelola oleh anak muda yang tak pengalaman, tak memiliki pemikiran visioner dan lahir sebagai calon pemimpin secara instan dan pragmatis dalam privilese kekuasaan dan hukum,” jelas dia.
Pria yang dikenal sebagai ketua tim kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di kasus penistaan agama ini mengungkap filosofi pemuda telah luluh ditelan jaman yang serba pragmatis dan instan.
Namun kata dia, anak muda yang seperti itu tak bisa disalahkan begitu saja.
Hal yang perlu dipertanyakan lanjutnya, adalah apakah kelahiran pemimpin instan merupakan hasil dialektika antara ayah dengan anaknya.
"Saya tak ingin menyalahkankanya, karena tak bijak rasanya mereka yang harus di persalahkan, justru saya bertanya apakah kelahiran pemimpin instan adalah hasil sebuah dialektika antara yang mendidik dengan yang didik,” ucapnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.