Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Enam Ahli Hukum Pidana Eksaminasi Putusan Kasus Korupsi Impor Baja

Amir Ilyas, Ahli Hukum Pidana Universitas Hasanuddin mengibaratkan perkara ini dengan membayar pajak kendaraan bermotor.

Penulis: Erik S
Editor: Acos Abdul Qodir
zoom-in Enam Ahli Hukum Pidana Eksaminasi Putusan Kasus Korupsi Impor Baja
Istimewa
Enam ahli hukum pidana melakukan eksaminasi putusan perkara dugaan korupsi impor baja dan produk turunannya Nomor: 79/PID.SUS/TPK/2022/PN.JKT.PST juncto Putusan Nomor: 22/PID.SUS-TPK/2023/PT.DKI atas nama terdakwa Budi Hartono Linardi, pemilik PT Mereaseti Logistik Indonesia (MLI). 

Laporan Wartawan Tribunnews, Erik Sinaga

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Enam ahli hukum pidana melakukan eksaminasi putusan perkara dugaan korupsi impor baja dan produk turunannya Nomor: 79/PID.SUS/TPK/2022/PN.JKT.PST juncto Putusan Nomor: 22/PID.SUS-TPK/2023/PT.DKI atas nama terdakwa Budi Hartono Linardi, pemilik PT Mereaseti Logistik Indonesia (MLI).

Keenam ahli hukum yang mengeksaminasi kedua putusan tersebut, yakni Mahrus Ali dan Muzzair dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Chairul Huda dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Rocky Marbun dari Universitas Pancasila (UP) Jakarta, Prof. Tongat dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), dan Amir Ilyas dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.

Mahrus Ali, salah satu eksaminator dalam hasil eksaminasi yang diterima pada Senin (6/11/2023), menyampaikan, pihaknya menyimpulkan bahwa perbuatan terdakwa Budi Hartono Linardi dalam perkara a quo tidak tepat melanggar Pasal 2 Ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

“Perbuatan terdakwa merupakan pelanggaran terhadap UU Kepabeanan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (7/11/2023).

Ahli Hukum Pidana UII ini juga menyampaikan tidak tepat mengaitkan antara kerugian sebesar Rp1.060.658.585.069 yang jelas merupakan kerugian keuangan negara dengan sejumlah Rp91.300.126.793 yang diperoleh oleh PT Maraseti Logistik.

Uang sejumlah Rp1.060.658.585.069 tersebut, lanjut dia, adalah kewajiban pembayaran bea kepabeanan dan pajak-pajak lainnya yang seharusnya terbayarkan kepada negara oleh 6 perusahaan yang meminta bantuan kepada terdakwa untuk memperoleh Surat Penjelasan.

Berita Rekomendasi

Uang tersebut merupakan sumber penerimaan yang harus diperoleh negara. Sedangkan uang sejumlah Rp91.300.126.793 tersebut diperoleh oleh terdakwa Budi karena telah mengurus Surat Penjelasan impor dari 6 perusahaan melalui alm. Ira Chandra.

“Uang tersebut bukanlah kerugian keuangan negara sehingga baik terdakwa maupun PT Maraseti Logistik tidak dapat dibebani kewajiban untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU Tipikor,” ujarnya.

Selanjutnya, penggunaan penghitungan kerugian perekonomian negara dalam perkara a quo bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 25/PUU-XIV/2016 yang menegaskan agar kerugian keuangan negara nyata dan pasti jumlahnya, melanggar ajaran kausalitas, dan bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (1) huruf b tentang pembayaran uang pengganti.

Baca juga: KPK Bakal Kembali Periksa Menhub Budi Karya Terkait Kasus Suap di DJKA Kementerian Perhubungan

Baca juga: Ahok Diperiksa KPK 6,5 Jam Terkait Kasus Korupsi Eks Dirut Pertamina Karen Agustiawan

Amir Ilyas, Ahli Hukum Pidana Universitas Hasanuddin mengibaratkan perkara ini dengan membayar pajak kendaraan bermotor. Menurutnya, jika memang benar kerugian keuangan negara akibat tidak masuknya penerimaan negara melalui bea masuk impor, maka akan ada penafsiran ada uang yang seharusnya milik negara dan itu tidak masuk ke negara, sehingga akan dianggap sebagai kerugian keuangan negara.

“Tidak ada definisi keuangan negara itu adalah keuangan negara yang seharusnya didapatkan. Jadi takutnya nanti orang yang tidak membayar pajak motor, pajak mobil bisa dianggap sebagai tindak pidana korupsi. Termasuk bisa jadi orang tidak bayar BPJS akan bisa dianggap melakukan tindak pidana korupsi,” papar Prof Amir menganalogikan.

Adapun kedua putusan yang dieksaminasi tersebut, yakni pada tingkat Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, menghukum terdakwa Budi Hartono Linardi 12 tahun penjara, denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan, dan membayar uang pengganti sebesar Rp91,3 miliar.

Majelis hakim menyatakan terdakwa Budi Hartono Linardi terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Dia melanggar Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Sedangkan pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Budi Hartono Linadri divonis 8 tahun penjara, denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan, dan menghilangkan membayar uang pengganti sebab terdakwa tidak menikmati uang dari hasil korupsi karena hanya merupakan penyedia jasa impor.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas