Viral 6 Siswa SD Sayat Tangan di TikTok, KPAI Ingatkan Bahaya Penggunaan Media Sosial Berlebihan
Video aksi bocah SD diduga membuat konten mengerikan dengan menyayat tangannya sendiri yang viral di TikTok mengundang keprihatikan KPAI.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengingatkan perlunya mewaspadai dampak dan risiko adopsi digital dan penggunaan media sosial yang berlebihan oleh anak-anak.
Dia merujuk pada kasus video aksi bocah SD diduga membuat konten mengerikan dengan menyayat tangannya sendiri yang viral di TikTok.
Ada enam siswa SD nekat melakukan aksi menyayat tangan sendiri hingga diunggah di TikTok. Peristiwa terjadi di Kabupaten Serang, Banten. Aksi itu pun viral di medsos dan membuat miris para orangtua dan guru.
"Ini menjadi lonceng bahaya. Untuk pendidikan kita dimanapun berada segera melakukan cek lengan anak-anak didiknya. Apakah telah melakukan selfharm," ucap Jasra saat dihubungi Selasa (7/11/2023).
Jasra menekankan, kasus dipicu oleh tren platform digital. Anak-anak tak bisa membendung fenomena dari luar. Penting bagi platform digital, termasuk TikTok untuk cepat mencegah video-video yang berbahaya dicontoh oleh anak-anak.
"Laporan media sepanjang 2022, telah melaporkan peristiwa anak-anak yang melakukan selfharm pada dirinya, ada karena alasan mengikuti tren TikTok," tutur Jasra
Anak-anak dinilainya sudah menjadi korban atas perkembangan pemasaran penetrasi jasa internet, melalui oknum-oknum tidak bertanggung jawab, para pemiliki usaha berbasis digita.
"Maka terbayang, kalau para oknum tidak bertanggung jawab ini, hanya mampu bicara pasar dan eksploitasi ekonomi dengan target anak-anak," imbuh Jasra.
Baca juga: Self Harm Atau Lukai Diri sebagai Pelampiasan Masalah, Ketahui Sebab dan Penanganannya
Dengan perkembangan aplikasi platform digital yang dapat membahayakan dan mengancam anak-anak, para pemilik platform diharapkan secara moral untuk bekerjasama, bahkan memiliki rasa kewajiban dengan sekolah, keluarga dan lingkungan.
"Jadi bila ada aplikasi yang menyampaikan memiliki standar keamanan tinggi, tetapi tidak pernah bersentuhan dengan anak untuk menjelaskannya, maka itu menjadi sesuatu yang sulit diukur, seperti ketika sudah terjadi anak anak melakukan selfharm," ujar Jasra.
Fenomena selfharm tidak hanya mengikuti tren, tapi merupakan puncak kondisi masalah anak hari ini. Yang semua kebutuhannya di dunia, dijawab melalui dunia digital. Namun anak anak di dalamnya tidak memiliki kedaulatan dan perlindungan.
Baca juga: Jangan Takut Konsultasi Jika Alami Depresi dan Suka Melukai Diri
"Dunia digital pada anak, terlalu dibebaskan dalam mekanisme pasar dan perkembangannya, sehingga anak anak yang belum siap, cenderung mudha di eksploitatif, terus menerus menjadi korban, tanpa bisa dicegah," terangnya.
Jasra berujar, meski Tiktok sudah mendaftar PSE, tapi yang memang sulit di kontrol adalah hal hal yang dianggap diluar yang diatur, tetapi menganggu tumbuh kembang anak.
"Seperti fenomena selfharm tidak termasuk wilayah hukum tetapi pengobatan. Ini yang seringkali sulit diberantas, ajakan ajakan buruk di media social, diluar yang diatur," tutupnya.
Sebelumnya, juga ada aksi menyayat lengan sendiri, dilakukan oleh sejumlah pelajar di Situbondo, Jawa Timur. Aksi menyayat lengan yang kebanyakan dilakukan siswa SD di Situbondo itu disebut meniru tren di media sosial TikTok.
Konten lain, yang juga dinilai negatif juga sempat menjadi sorotoan, di antaranya kasus Popo Barbie, warga Air Hangat, Kabupaten Kerinci, Jambi, nekat membuat hingga menyebarkan video masturbasi bersama manekin karena ingin memperoleh viewers dengan jumlah yang besar di TikTok.
Lalu, video viral seorang ayah yang memarahi putrinya yang berumur 11 tahun, karena kedapatan asyik bermain permainan roleplay di TikTok sebagai orang dewasa.