Ketua KSPSI Sesalkan Pemikiran Soal Buruh Jangan Menuntut Upah ke Pengusaha
Jumhur mengingatkan, kalau kaum buruh tidak memiliki upah yang cukup, maka daya beli rendah, UMKM terpukul.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Jumhur Hidayat menyesalkan pemikiran Bakal Calon Presiden (Bacapres) Koalisi Indonesia Maju yang meminta agar kaum buruh jangan banyak menuntut upah ke pengusaha.
Pasalnya, jika bacapres itu terpilih akan memberikan banyak subsidi.
"Perspektif di pemikiran itu adalah business bias atau pengusaha bias. Jadi bias kepada pengusaha, bukan bias kepada keadilan, dalam hal ini keadilan bagi kaum buruh," kata Jumhur dalam keterangan tertulis, Kamis (9/11/2023).
Baca juga: Petani Tembakau Minta Capres-Cawapres Komitmen Wujudkan Kesejahteraan Buruh Tani
Diketahui, sebelumnya saat berpidato dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, di Jakarta, Rabu (8/11/2023), Bacapres Prabowo Subianto meminta agar buruh tidak banyak menuntut pengusaha soal kenaikan upah.
Menurut Prabowo, jika dirinya terpilih menjadi presiden 2024, dia akan memberikan sejumlah subsidi kepada para buruh. Antara lain subsidi BBM, biaya kesehatan, biaya sekolah, hingga makan siang gratis.
Jumhur pun membeberkan, labour revenue atau pendapatan buruh dan juga capital revenue dalam satu usaha di Indonesia masih sekitar 39 persen, paling rendah di Asean Five.
Baca juga: Wakil Ketua TPN Ajak Relawan Buruh Tancap Gas Kenalkan Pasangan Ganjar-Mahfud di Riau
Sementara di dunia yang lebih beradab seperti di Eropa bisa sampai 60 persen pendapatannya untuk buruh.
Jadi, lanjut Jumhur, mereka lebih menghargai kaum buruh. Sementara kita masih jauh di bawah itu.
Karena itu, Jumhur menilai, kalau buruh ingin pendapatan lebih dari sisi itu masih masuk akal.
Berbicara soal investasi, dia mengutip ekonom Faisal Basri yang sudah membuat gambaran bahwa keluhan investor soal perburuhan itu hanya urutan ke-11. Yang pertama itu ketidakpastian kebijakan, perpajakan, dll.
Jumhur juga menyampaikan dari 2003 sampai sebelum lahirnya UU Omnibus Law itu pertumbuhan ekonomi kita tinggi dengan peraturan yang lama.
Namun sekarang dibuat peraturan yang lebih merendahkan kesejahteraan kaum buruh, sementara pertumbuhan segitu saja malah nyungsep.
"Jadi tidak ada hubungan antara kita menservis pengusaha dengan pertumbuhan tinggi, tidak ada hubungan itu. Yang ada malah bisa sebaliknya karena pertumbuhan disumbangkan 56-57 persen dari belanja masyarakat," jelas Jumhur.