VIDEO "Kalau Merasa Difitnah, Anwar Usman Harus Minta MK Pecat Dirinya Guna Uji Putusan MKMK"
"Dia harus meminta kepada MK untuk memecat dirinya sehingga membuka peluang dirinya untuk menguji putusan MKMK dan melakukan banding," jelas Julius.
Editor: Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan prilaku hakim konstitusi.
MKMK menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) kepada hakim terlapor Anwar Usman.
Selain itu, Anwar Usman juga tak diperkenankan ataj berhak mencalonkan kembali atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie memerintahkan Wakil Ketua MK, dalam waktu 2x24 jam sejak Putusan selesai diucapkan, memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, Jimly menegaskan, Anwar Usman tidak boleh mencalonlan diri sebagai pimpinan MK hingga masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.
Untuk menanggapi putusan MKMK itu, Tribunnews.com mewawancarai Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani.
"Putusan MKMK ini masih belum sesuai dengan fakta yang kami ajukan dan bukti yang kami ajukan yakni ditemukan benturan kepentingan dan berkaitan langsung dengan kepentingan keluarga Anwar Usman yaitu Gibran," ujar Julius Ibrani dalam wawancara eksklusif On Focus Tribunnews.com, Kamis (8/11/2023).
"Kedua, betul juga ditegaskan oleh MKMK bahwa ada ruang yang membuka luas intervensi dari pihak eksternal dalam proses pengambilan keputusan," jelasnya.
Menurut Julius, benturan kepentingan di MK masih tetap tidak hilang karena Anwar Usman masih tetap sebagai hakim konstitusi.
"Ini yang membuat kami menjadi tidak tenang. Tidak tenangnya apa? Karena keributan ini masih akan terus dibawa. Karena legitimasi publik terhadap pemaknaan putusan perkara nomor 90 tentang syarat capres-cawapres juga dibawa-bawa terus," jelasnya.
"Yang lebih penting lagi yang tidak di-clear-kan, diklarifikasi di ruang publik adalah batasan 40 tahun tidak berubah. Jadi anak muda yang di bawah 40 tahun tidak boleh (mencalonkan diri sebagai Capres-cawapres-red)."
"Yang boleh adalah kepala daerah yang berumur di bawah 40 tahun. Jangan dibalik logikanya. Nah klausa itu kan bermasalah," ucapnya.
Julius juga menaggapi pernyataan Anwar Usman yang merasa dirinya difitnah dalam perkara yang sedang dialaminya dan berakhir putusan MKMK mencopotnya dari jabatan Ketua MK.
"Saya malah mendorong Anwar Usman konsisten dan tegas. Dia harus meminta kepada MK untuk memecat dirinya sehingga membuka peluang dirinya untuk menguji putusan MKMK dan melakukan banding," jelasnya.
"Jadi kalau dia merasa difitnah dan segala macam, maka uji lagi putusan MKMK dan dibanding MKMK."
"Dengan demikian ia mohon dulu kepada MK atau dia minta dipecat, lalu dia uji kembali, supaya tidak semakin deras tuduhan fitnah kepada dirnya, supaya dia juga merasa ini berdasarkan fakta atau bukan pemeriksaannya," paparnya.
Karena itu dia mendorong Anwar Usman mengambil sikap tegas itu untuk memastikan putusan MKMK terhadap dirinya itu berdasarkan fakta atau bukan.
"Tapi kalau cuma pernyataan-pernyataan saja seperti ini, ya statement politik, lalu playing victim, meminta simpati publik," ucapnya.
Saksikan video lengkap wawancara eksklusif Tribunnews.com dengan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani.(*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.