Badan Pemulihan Aset Dinilai Bisa Efektifkan Pengelolaan Barang Sitaan Kejagung
Kinerja Kejagung dalam memulihkan aset korban masih dilakukan parsial oleh masing-masing satuan kerja (satker) kejaksaan.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembentukan Badan Pemulihan Aset oleh Kejaksaan Agung dinilai dapat meningkatkan profesionalitas dan efektivitas pengelolaan aset hasil tindak pidana.
Demikian dikatakan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Pancasila, Prof. Agus Surono.
Ia menilai positif langkah pembentukan Badan Pemulihan Aset oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
"Pembentukan Badan Pemulihan Aset, merupakan hal yang sangat positif guna lebih mengefektifkan pengelolaan aset yang dikelola oleh kejaksaan karena harus dikelola secara profesional," kata Agus kepada wartawan, Senin (27/11/2023).
Baca juga: Komisi III DPR Soroti Pentingnya Penanganan Barang Sitaan Saat Kunker ke Provinsi Banten
Agus menuturkan kinerja Kejagung dalam memulihkan aset korban masih dilakukan parsial oleh masing-masing satuan kerja (satker) kejaksaan.
Selain itu belum terintegrasi dalam satu sistem, dan belum optimal dilaksanakan.
"Demikian pula dengan kegiatan pemulihan aset atas permintaan dari negara lain, baik secara formal dan informal, belum diselenggarakan secara baik oleh kejaksaan. Sehingga, perlu dilakukan pembenahan," ujar Agus.
Diketahui, Kejagung saat ini hanya memiliki Pusat Pemulihan Aset sesuai Peraturan Jaksa Agung (Perjak) Nomor Per-006/A/JA/3/2014. Organ tersebut berada di bawah Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan (Jambin).
Sesuai Perjak Nomor 7 Tahun 2020, tugas dan wewenang PPA adalah memulihkan aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang dirampas negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Aset yang dirampas tersebut kemudian dikembalikan kepada korban, baik negara, perseorangan, korporasi, lembaga, dan lainnya.
Agus mengharapkan pembentukan Badan Pemulihan Aset akan membuat pelaksanaan kewenangan dalam pemulihan aset kian efisien, transparan, dan akuntabilitas.
Ia mengingatkan hal tersebut dapat terwujud dengan adanya partisipasi publik.
"Sesuai asas transparansi yang diterapkan dalam kegiatan pemulihan aset, peran serta seluruh elemen masyarakat sangat dibutuhkan, baik dalam bentuk pemberian informasi maupun keikutsertaan masyarakat mengawasi aset yang dikelola. Sehingga, dalam batas tertentu, masyarakat harus dapat memantau aset barang rampasan yang ada dalam bentuk informasi di website yang dikelola," imbuhnya.
Agus menuturkan sistem pemulihan aset terpadu (integrated asset recovery system/lARS) yang terpusat diperlukan.
Hal itu untuk memastikan agar kelima tahap pemulihan aset, yang terdiri dari kegiatan penelusuran, pengamanan, pemeliharaan, perampasan, dan pengembalian aset, dapat optimal dilaksanakan.