Cerita Agus Rahardjo soal e-KTP Dibenarkan Alexander Marwata & Saut Situmorang, Istana Beri Bantahan
Ketua KPK 2015-2019, Agus Rahardjo, mengaku pernah diminta oleh Presiden Jokowi untuk hentikan kasus korupsi e-KTP. Hal ini dibenarkan oleh koleganya.
Penulis: Muhamad Deni Setiawan
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019, Agus Rahardjo, mengaku pernah diminta oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan kasus korupsi e-KTP yang menjerat mantan Ketua DPR, Setya Novanto (Setnov).
Pernyataan Agus itu kemudian dibenarkan oleh Alexander Marwata dan Saut Situmorang.
Wakil Ketua KPK 2015-2019 dan 2019-2024, Alexander Marwata, menyebut Agus Rahardjo pernah bercerita kepada para pimpinan lembaga antikorupsi soal masalah ini.
"Ya Pak Agus pernah bercerita kejadian itu ke pimpinan," kata Alex, sapaan Alexander Marwata, saat dikonfirmasi, Jumat (1/12/2023).
Baca juga: Agus Rahardjo Dimarahi Jokowi Tak Stop Kasus e-KTP, Anies: KPK Harus Kembali Independen
Setelah Agus bercerita demikian, sambung Alex, perintah Jokowi ditolak oleh pimpinan KPK.
Alasannya karena lembaga antirasuah itu telah menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik).
"Ditolak. Karena sprindik sudah terbit dan KPK tidak bisa menghentikan penyidikan. KPK juga sudah mengumumkan tersangka," tuturnya.
Cerita yang dikemukakan oleh Agus turut dibenarkan oleh Wakil Ketua KPK 2015-2019, Saut Situmorang.
Agus Rahardjo menceritakan peristiwa yang dimaksud saat pimpinan KPK hendak menggelar jumpa pers terkait penyerahan mandat atau tanggung jawab pengelolaan KPK kepada presiden.
"Aku jujur aku ingat benar pada saat turun ke bawah Pak Agus bilang 'Pak Saut, kemarin saya dimarahin (presiden), 'hentikan' kalimatnya begitu," kata Saut saat dikonfirmasi, Jumat.
Sebagai informasi, pada Jumat (13/9/2023), tiga pimpinan KPK saat itu, yakni Agus Rahardjo, Saut Situmorang, dan Laode M Syarif menyerahkan tanggung jawab atau mandat pengelolaan lembaga antikorupsi ke Presiden Jokowi.
Penyerahan tersebut terkait dengan revisi UU KPK yang dinilai banyak orang merupakan upaya untuk melemahkan lembaga antirasuah itu.
Berbagai protes terhadap revisi UU tersebut pun banyak terjadi, tetapi pada akhirnya tetap disahkan.
Saut menduga, sikap lima pimpinan KPK terhadap kasus e-KTP yang menjerat Setya Novanto telah diketahui Jokowi.
Menurut Saut, tiga pimpinan KPK menyetujui penyidikan kasus tersebut sementara dua lainnya menolak.
"Dalam pikiran kotor aku pasti ada bocoran kan skornya 3-2. Tahulah Anda yang dua siapa, yang tiga siapa."
"Jadi, mungkin dia (presiden) dengar-dengar dan panggil saja. Mungkin di pikiran yang perintah seperti itu. Tapi, enggak tahulah kenapa (Agus Rahardjo) dipanggil sendirian," tuturnya.
Saut lantas mengapresiasi sikap Agus yang melawan permintaan Jokowi untuk menghentikan penanganan kasus e-KTP.
"Sebagai pimpinan, aku nilai dia (Agus Rahardjo) bijaklah dia ke sana (Istana), tapi aku rasa dia punya feeling itu arahnya ke mana."
"Kalau Pak Agus bisa dipengaruhi, berubah tuh skorsnya dari 3-2. Tapi, kan sudah ada tanda tangan Sprindik (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan)," ujar Saut.
Bantahan Istana
Sementara itu, pengakuan Agus Rahardjo telah ditanggapi oleh pihak Istana Negara.
Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, mengatakan tidak ada agenda pertemuan antara Jokowi dengan Agus membahas soal penghentian kasus e-KTP.
"Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda presiden," kata Ari saat dihubungi, Jumat.
Ari menuturkan, ketika Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, presiden secara tegas menyatakan agar proses hukum diikuti dengan baik.
"Presiden dalam pernyataan resmi tanggal 17 November 2017 dengan tegas meminta agar Setya Novanto mengikuti proses hukum di KPK yang telah menetapkannya menjadi tersangka korupsi kasus KTP Elektronik."
"Presiden juga yakin proses hukum terus berjalan dengan baik," ungkapnya.
Menurut Ari, pada kenyataannya, proses hukum mantan Ketua Umum Partai Golkar itu di KPK terus berjalan. Kasus e-KTP disidangkan di pengadilan dan Setya Novanto divonis 15 tahun penjara.
"Kita lihat saja apa kenyataannya yang terjadi. Kenyataannya, proses hukum terhadap Setya Novanto terus berjalan pada tahun 2017 dan sudah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap," jelasnya.
Cerita Agus Rahardjo
Agus bercerita, dirinya pernah dipanggil dan diminta Jokowi untuk menghentikan penanganan kasus e-KTP yang menjerat Setya Novanto.
Setnov kala itu menjabat sebagai Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar. Pada 2016, Golkar bergabung dengan koalisi pendukung Jokowi.
Status hukum Setnov sebagai tersangka diumumkan KPK secara resmi pada Jumat (10/11/2017).
Sebelum mengungkapkan kesaksiannya, Agus menyampaikan permintaan maaf dan merasa ada hal yang harus dijelaskan.
"Saya terus terang pada waktu kasus e-KTP, saya dipanggil sendirian oleh presiden."
"Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretariat Negara)."
"Jadi, saya heran 'biasanya manggil (pimpinan KPK) berlima ini kok sendirian'. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan tapi lewat masjid kecil," tutur Agus dalam program Rosi, dikutip dari YouTube Kompas TV, Jumat.
"Itu di sana begitu saya masuk presiden sudah marah, menginginkan, karena begitu saya masuk beliau sudah teriak 'hentikan'. Kan saya heran yang dihentikan apanya."
"Setelah saya duduk saya baru tahu kalau yang suruh dihentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov, Ketua DPR waktu itu mempunyai kasus e-KTP supaya tidak diteruskan," lanjutnya.
Namun, Agus tidak menjalankan perintah itu dengan alasan sprindik sudah ditandatangani pimpinan KPK tiga minggu sebelum pertemuan tersebut.
"Saya bicara (ke presiden) apa adanya saja bahwa sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu, di KPK itu enggak ada SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), enggak mungkin saya memberhentikan itu," jelas Agus.
(Tribunnews.com/Deni/Ilham Rian Pratama/Taufik Ismail)