Soal Keppres Penunjukan Nawawi Pomolango Sebagai Ketua KPK, Berikut Pandangan Pakar Hukum
Dia menilai Keppres Nomor 116/P cacat hukum sehingga jika dibiarkan, maka melemahkan KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, I Gede Pantja Astawa, meminta Presiden Joko Widodo mencabut Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/P Tahun 2023 tentang Pengangkatan Nawawi Pomolango sebagai Ketua Sementara KPK.
Dia menilai Keppres Nomor 116/P cacat hukum sehingga jika dibiarkan, maka melemahkan KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi.
"(Presiden Joko Widodo,-red) Dia menerbitkan dia juga yang harus mencabut terlepas dari kepentingan politik. Untuk menyelamatkan KPK," kata dia, dalam sesi Focus Group Discussion Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK) tentang Menyoal Pergantian Pimpinan KPK di Jakarta pada Selasa (5/12/2023).
Nawawi Pomolango menjabat Ketua KPK sementara setelah Firli Bahuri ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerasan dan gratifikasi terhadap Mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Upaya penetapan status tersangka itu dilakukan penyidik Polda Metro Jaya.
Untuk sementara menggantikan Firli Bahuri, Jokowi menerbitkan Keppres Nomor 116/p Tahun 2023 Tentang Pemberhentian Sementara Ketua Merangkap Anggota KPK Masa Jabatan Tahun 2019-2024 Dan Pengangkatan Ketua Sementara KPK Tahun 2019-2024.
Namun, kata dia, Keppres Nomor 116/P Tahun 2023 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.
Hal ini, karena Keppres Nomor 116/P Tahun 2023 mengacu pada Perppu Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU 30/2022 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Tidak bisa mengacu pada dasar hukum Perppu, karena keberadaan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019. Lex posterior derogat legi priori. Mewajibkan menggunakan hukum yang baru dalam hal ini undang-undang yang baru," ujarnya.
Padahal, sambungnya, sejak terbitnya UU/19/2019 tentang KPK, maka aturan hukum ini yang berlaku.
Menurut dia, penggantian Ketua KPK harusnya mengacu pada UU/19/2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU/30/2022 tentang KPK.
Pasal 32 dan 33 UU/19/2019 tentang KPK mengatur soal penunjukan dan penggantian pimpinan KPK yang diberhentikan karena menjadi tersangka tindak pidana kejahatan.
Dalam aturan itu disebutkan, jika terjadi kekosongan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik Indonesia mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR.
"Maka pengangkatan Nawawi Pomolango sebagai Ketua Sementara KPK melalui Keppres menjadi tak sah dan batal demi hukum, karena tak berdasarkan pada Pasal 32 dan 33 UU/19/2019," ujarnya.
Mengapa hanya Presiden Joko Widodo yang berwenang untuk mencabut Keppres Nomor 116/P?
Dia merujuk pada asas Contrarius Actus. Salah satu konsep dalam hukum administrasi.
Asas Contrarius Actus menyebutkan siapa pejabat tata usaha negara yang membuat keputusan tata usaha negara dengan sendirinya berwenang mengubah, mengganti, mencabut atau membatalkan dokumen yang dibuatnya.
"Dia membuat, dia sendiri yang mencabut," kata dia.
Selain meminta Presiden Joko Widodo mencabut Keppres Nomor 116/P Tahun 2023 terdapat dua upaya lainnya yang dapat dilakukan.
Yaitu melalui jalur hukum dengan mengajukan Judisial Review ke Mahkamah Agung (MA) dan mendorong DPR RI mengajukan hak interpelasi terhadap Presiden Joko Widodo.
"Anggota dewan menggunakan hak interpletasi. Ini persoalan sederhana. Hak untuk meminta keterangan tertulis kepada Presiden," kata dia.
Untuk judisial review ke Mahkamah Agung, kata dia, menentukan siapa yang berwenang mengajukan atau legal standing.
"Tentu saja menggunakan upaya hukum Judicial Review ke Mahkamah Agung. Berkenaan dengan legal standing siapa yang mengajukan. Apakah hak konstitusional saya dirugikan tidak," ujarnya.
Jika persoalan ini dibiarkan, maka akan membuat setiap kebijakan atau upaya hukum yang dibuat KPK menjadi cacat.