Pakar Hukum Tata Negara Ungkap 3 Keanehan RUU DKJ, Duga Ada Unsur Politis
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) bermasalah.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) bermasalah.
Ia mencatat ada tiga permasalahan dalam RUU DKJ.
"Ada tiga hal setidak-tidaknya untuk menyederhanakan masalah ini. Satu, sikap inkonsisten dalam demokrasi. Kedua, membingungkan dalam sikap para pemerintah. Ketiga, sangat politis," kata Feri Amsari saat dihubungi Tribunnews.com, Jumat (8/12/2023).
Feri menjelaskan soal inkonsistensi dalam demokrasi.
Menurut dia, Pasal 18 Ayat 4 UUD sudah menyatakan, bahwa gubernur, wali kota, dan bupati dipilih secara demorkatis melalui pemilihan oleh rakyat.
Lanjut dia, hal-hal khusus itu berlangsung dengan latar belakang sejarah wilayah.
Baca juga: RUU DKJ Berdampak Pada Melambatnya Perkembangan Jakarta
Misalnya, kekhususan untuk Yogyakarta, Aceh, Papua, dan Jakarta.
Ia mengatakan, khusus untuk Jakarta sebagai Ibu Kota memang dikhususkan karena merupakan pusat pemerintahan.
"Nah, sekarang ketika pusat pemerintahan berpindah direncanakan begitu, harusnya Jakarta jauh lebih demokratis. Dan tidak diganggu dengan konsep-konsep yang malah mengganggu konsep-konsep konstitusional kita," ucap Feri Amsari.
Kedua, Feri menjelaskan, sikap pemerintah membingungkan dalam RUU DKJ.
Baca juga: Surya Paloh: RUU DKJ Cederai Semangat Demokrasi dan Otonomi Daerah
Menurutnya, jika pemerintah menyatakan tidak setuju dengan gagasan penunjukkan gubernur dan wakil gubernur oleh Presiden, seharusnya pembahasan RUU DKJ dibatalkan.
Ia menjelaskan, proses penyusunan UU membutuhkan persetujuan pemerintah dan DPR.
"Satu saja (tolak), tidak bisa jalan. Nah, kenapa ini malah berjalan, kan jadi aneh, apakah pemerintah sedang bermain politis, apa yang tampak di depan berbeda dengan di belakang?" kata Feri.
Lebih lanjut, dijelaskan Feri, di dalam ilmu perundang-undangan, berdasarkan UU 12 Tahun 2011 jo. UU 15 Tahun 2019 jo. UU 13 Tahun 2022 pembentukan UU melalui persetujuan bersama.
Ia kemudian menyinggung lima tahapan pembentukan UU, yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, persetujuan bersama dan pengundangan, di mana pada seluruh tahapan tersebut pemerintah terlibat.
"Kalau terjadi perbedaan satu saja di tahapan, itu UU bisa tidak jadi. Nah, kenapa pertanyaan besarnya, kok sudah jadi draft UU, pemerintah menyatakan tidak setuju. Dari perencanaan saja, kalau pemerintah menyatakan tidak setuju, enggak jadi ini UU," jelasnya.
Sehingga, Feri menduga adanya unsur politis dalam persoalan pembentukan RUU DKJ ini.
Ia menduga hal tersebut berkaitan dengan pencalonan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024.
"Jadi saya berpikir ada hal yang lain, yaitu hal politis. Hal politisnya yang luar biasa adalah jika kemudian dikaitkan dengan Pemilu 2024, kalau ternyata anak presiden gagal menjadi orang yang terpilih dalam Pilpres sebagai wakil presiden, ya dia bisa ditempatkan ditunjuk Presiden sebagai gubernur Jakarta," kata Feri.
"Bukankah Jakarta adalah patron untuk kemudian menjadi pimpinan di masa depan? Jadi 'mereka' (Gibran cs) bisa punya jembatan penyeberangan menuju Pemilu 2029 nantinya," sambungnya.
Kalau pun kemudian Gibran menang di Pilpres 2024, Feri menduga Presiden bisa kemudian menunjuk gubernur yang bukan oposisi dari pemerintahan anaknya.
"Dengan begitu orang tidak punya kesempatan untuk berkarya di patron untuk menjadi pemimpin Indonesia sebagai negara di masa depan, yaitu sebagai calon presiden di 2029. Jadi ini tentu tujuannya akan sangat politis untuk menjegal lawan-lawan politisanaknya untuk terpilih di 2024," ungkap Feri Amsari.
Sebelumnya, dikutip dari Kompas.com, Jumat (8/12/2023), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, pemerintah tidak setuju terhadap poin Rancangan Undang-undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) yang menyebutkan bahwa gubernur dan wakil gubernur Jakarta mendatang ditunjuk oleh presiden RI.
Menurut Tito, pemerintah sepakat untuk tidak menghilangkan proses pemilihan kepala daerah (pilkada) dalam memilih gubernur dan wakil gubernur Jakarta.
"Pemerintah tidak setuju (jika gubernur dan wakil gubernur dipilih Presiden)," ujar Tito saat memberi keterangan pars di sela-sela rapat koordinasi nasional (rakornas) investasi 2023 yang digelar di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (7/12/2023).
Tito menyampaikan, dalam rapat yang dilakukan pemerintah, sudah ada konsep soal DKJ.
Menurut dia, rapat tidak pernah membicarakan soal perubahan mekanisme rekrutmen kepala daerah, baik itu gubernur maupun wakil gubernur Jakarta.
"Artinya bukan penunjukan tetapi tetap melalui mekanisme pilkada. Kenapa? memang sudah berlangsung lama dan kita menghormati prinsip-prinsip demokrasi. Jadi itu yang saya mau tegaskan," kata Tito.
"Nanti kalau kami diundang, (draf RUU) dibahas di DPR, posisi pemerintah adalah gubernur, wakil gubernur (Jakarta) dipilih melalui pilkada rakjat, titik. Bukan lewat penunjukkan," ujar dia.
Lebih lanjut, mantan Kapolri itu menyampaikan bahwa RUU DKJ yang ada saat ini merupakan inisiatif dari DPR.
Nantinya, DPR akan mengirim surat kepada pemerintah, dalam hal ini untuk Presiden Joko Widodo.
Kemudian, Presiden akan menerbitkan surat presiden (surpres) yang berisi penunjukan menteri atau beberapa menteri yang mewakili pemerintah untuk membahas RII DKJ.
"Nah kita belum menerima surat dari DPR berikut draft RUU-nya. Kalau nanti ada, maka nanti pemerintah, Pak Presiden akan kirim surat dalam rangka menunjuk salah satunya adalah saya Mendagri. Karena ini berkaitan dengan daerah. Daerah Khusus Jakarta," ujar Tito.
"Saya akan membaca apa alasan sehingga ada ide penunjukkan gubernur dan wakil gubernur DKJ oleh presiden yang sebelumnya selama ini (dilakukan) melalui pilkada. Kita ingin melihat alasannya apa," kata dia.
Sementara Ketua Panitia Kerja (Panja) DPR terkait RUU DKJ, Achmad Baidowi membenarkan bahwa kemungkinan Pemilihan Kepala Daerah di DKI Jakarta dihilangkan setelah tidak lagi menjadi Ibu Kota Negara.
Hal ini mengacu pada draf RUU DKJ yang telah ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR dalam rapat paripurna.
Pasal 10 ayat 2 draf RUU DKJ berbunyi: "Gubernur dan Wakil Gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD".
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.