Jadi Korban Pembangunan, 94 Masyarakat Adat Ditangkap Sepanjang 2023
Tindak kekerasan terhadap masyarakat adat yang mengiringi proses pembangunan, tercatat dalam 22 peristiwa.
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Percepatan pembangunan di berbagai daerah Indonesia sepanjang 2023, rupanya membawa petaka bagi masyarakat adat.
Bagaimana tidak? Sekira 23 warga perkampungan adat terluka dalam proses pembangunan yang diiringi tindak kekerasan.
Jumlah tersebut dihimpun Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada rentang Desember 2022 hingga November 2023.
Tak hanya korban luka-luka, perampasan itu juga mengakibatkan 94 warga perkampungan adat ditangkap dan ditahan dengan sewenang-wenang.
"Hasil pemantauan yang dilakukan oleh KontraS dalam kurun waktu Desember 2022 - November 2023, yang menunjukkan bahwa terdapat tindak kekerasan kepada masyarakat adat dengan motif eksploitasi sumber daya alam, yang berdampak 23 orang masyarakat adat yang mengalami luka akibat tindak kekerasan serta 94 masyarakat adat mengalami penahanan ataupun penangkapan sewenang-wenang," ujar Wakil Koordinator KontraS, Andi M Rizaldy dalam Siaran Pers Catatan Hari HAM 2023, Minggu (10/12/2023).
Tindak kekerasan terhadap masyarakat adat yang mengiringi proses pembangunan, tercatat dalam 22 peristiwa.
Menurut Andi, tindak kekerasan biasanya terjadi untuk merampas lahan yang sejak lama dimiliki masyarakat adat.
Mayoritas, peristiwa perampasan lahan masyarakat adat terjadi di sektor pertambangan.
"Kami memberikan catatan khusus terkait dengan dampak eksploitatif dari pembangunan yang justru mengakibatkan terampasnya ruang hidup masyarakat adat. Tidak jarang tindak kekerasan tersebut dilakukan oleh aparat negara yang melakukan pengamanan terhadap perusahaan pertambangan," kata Andi.
Baca juga: Pemerintahan Jokowi dan Penerusnya Didesak Setop Proyek Strategis Nasional yang Berbenturan Rakyat
Dari 22 tersebut, Maluku Utara dan Kepulauan Riau menjadi provinsi terbanyak yang memiliki peristiwa kekerasan terhadap masyarakat adat untuk kepentingan pembangunan.
Kemudian disusul oleh Sumatra Barat, Riau, Lampung, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah dengan masing-masing dua peristiwa kekerasan terhadap masyarakat adat untuk kepentingan pembangunan.
Sementara di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, dan Jambi, tercatat masing-masing satu peristiwa kekerasan terhadap masyarakat adat untuk kepentingan pembangunan.
Dari peristiwa di berbagai daerah itu, KontraS mendata bahwa negara melalui aparatnya justru menjadi pelaku tindak kekerasan terhadap masyarakat adat dalam rangka pembangunan yang berpotensi merusak sumber daya alam.