Yusril Jadi Saksi Meringankan Firli: Minta Kasus Dihentikan, Takut Picu Konflik dan Ganggu Pemilu
Yusril Mahendra menjadi saksi meringankan untuk Firli Bahuri, singgung soal pasal yang sensitif hingga minta kasus dihentikan, khawatir picu konflik.
Penulis: Rifqah
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menjadi saksi meringankan untuk Firli Bahuri dan diperiksa di Bareskrim Polri, Jakarta hari ini, Senin (15//2024).
Dalam hal ini, Yusril meminta agar kasus dugaan pemerasan terhadap eks Menteri Pertahanan (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang menyeret Firli itu dihentikan.
"Sebenarnya kasus ini sebaiknya dihentikan. Bisa dihentikan lewat praperadilan, bisa juga dikeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan)," kata Yusril kepada wartawan.
Terlebih lagi, gugatan praperadilan yang diajukan Firli sebelumnya bukan ditolak oleh majelis hakim, melainkan tidak dapat diterima.
"Artinya, hakim tidak masuk ke perkara karena eksepsi dari termohon Polda Metro Jaya diterima yaitu permohonan praperadilannya."
"Itu mencampuradukkan antara formil dan materil, padahal praperadilan itu hanya forumnya saja karena itu dianggap permohonan itu tidak jelas," ujar Yusril.
Selain itu, Yusril juga mengatakan bahwa pasal yang disangkakan terhadap Firli itu adalah sensitif.
"Karena pasal yang yang dituduhkan sensitif. Saya mewakili presiden membahas RUU (rancangan undang-undang) tindak pidana korupsi itu terutama Pasal 12," kata Yusril kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Senin (15/1/2024).
Yusril juga beranggapan, penetapan Firli sebagai tersangka tidak berdasarkan dua alat bukti yang cukup.
"Sering saya diminta karena prinsip saya orang jangan dihukum kalau memang tidak ada alat bukti yang cukup," tuturnya.
Yusril Singgung soal Foto Pertemuan Firli dan SYL di GOR Bulu Tangkis
Baca juga: Yusril Ihza Mahendra Ungkap Alasannya Menerima Diperiksa Sebagai Saksi Meringankan Firli Bahuri
Mengenai foto pertemuan Firli dan SYL saat di lapangan bulu tangkis, Yusril mengatakan hal tersebut tak bisa dijadikan bukti pemerasan.
Pasalnya, menurut Yusril, foto tersebut tak menerangkan apa-apa dan tidak menandakan adanya tindak pidana pemerasan, seperti kasus yang tengah ditangani.
"Nah kemudian ada foto. Foto itu tidak menerangkan apa-apa karena foto itu dibuat tahun 2022 sebelum Pak Yasin (SYL) dinyatakan sebagai tersangka atau dalam penyelidikan atau penyidikan. Foto itu tidak menerangkan apa-apa ya foto itu aja," kata Yusril kepada wartawan di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (15/1/2024).
"Tanda foto itu harus didukung oleh alat bukti yang lain. Ada keterangan saksi yang melihat, mendengar dan mengetahui apa yang dibicarakan orang itu pada waktu mereka bertemu itu," ucapnya.
Yusril menegaskan, pembuktian soal pemerasan seharusnya dibuktikan bentuknya.
Namun, hingga saat ini, tidak diketahui bentuk pemerasan yang dituduhkan kepada Firli itu.
"Itu harus dibuktikan, termasuk juga yang tadi itu. Pemeriksaan dibuktikan adanya pemerasan, kapan terjadi, dimana terjadinya, dan dalam bentuk apa pemerasan itu," jelas Yusril.
Yusril Khawatir Kasus Firli Picu Konflik hingga Ganggu Pemilu
Yusril mengatakan, kasus yang menjerat Firli sebagai tersangka ini bukanlah merupakan kasus yang sederhana.
Apalagi, Firli merupakan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada saat itu.
"Karena ini aparat penegakan hukum dan kekhawatiran saya kalau nanti suatu saat terjadi masalah antara Mabes Polri dengan KPK seperti beberapa waktu lalu," ucapnya.
Apabila terjadi konflik tersebut, nantinya akan berdampak ke sejumlah sektor, termasuk mengganggu jalannya Pemilu 2024.
"Jangan sampai ini menimbulkan kegaduhan yang akhirnya akan berdampak pada pelaksanaan Pemilu yang akan dilakukan sebentar lagi," ungkapnya.
Yusril berpendapat, ada beberapa faktor yang meringankan untuk Firli dalam kasus tersebut.
Yakni soal pembuktian yang dinilai kurang cukup untuk masuk ke persidangan.
Selain itu adalah, soal pengabdian Firli di Institusi Polri selama kurang lebih 40 tahun dan di KPK hampir 3 tahun.
"Kemudian, juga faktor yang meringankan adalah faktor pengabdian yang dia lakukan selama ini sebagai polisi yang lebih kurang 40 tahun, berdinas di Polri dan kemudian hampir 3 tahun berdinas di KPK dalam upaya penegakan hukum, dan itu harus kita hargai," tuturnya.
Sebagai informasi, dalam kasus ini, Firli dijerat Pasal 12 huruf e atau Pasal 12 huruf B, atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 65 KUHP.
Dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar
(Tribunnews.com/Rifqah/Abdi Ryanda/Fahmi Ramadhan)