Hakim Arief Hidayat Usul Putusan MK dapat Diuji Formil
Arief Hidayat mengusulkan agar uji formil juga dapat dilakukan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengusulkan agar uji formil juga dapat dilakukan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Usulan tersebut disampaikan Arief Hidayat menyampaikan alasan berbeda atau concurring opinion dalam sidang pembacaan putusan 145/PUU-XXI/2023 tentang uji formil syarat usia capres-cawapres yang diatur pada Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebagaimana dimaknai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
"Sebagai seorang hakim konstitusi sekaligus akademisi, saya tergerak untuk memunculkan wacana pengujian formil terhadap Putusan Mahkamah yang tentunya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sendiri manakala terdapat situasi yang abnormal. Hal ini sengaja saya lakukan sebagai bagian dari upaya mengembangkan paham konstitusionalisme melalui pemikiran ilmiah dan perluasan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang hukum," ucap Arief dalam persidangan di Gedung MK RI, Jakarta Pusat, Selasa (16/1/2024).
Baca juga: Profil Arief Hidayat, Hakim MK yang Disanksi Teguran Tertulis Karena Dinilai Rendahkan Martabat MK
Arief mengatakan permohonan uji formil terhadap pasal 169 huruf q UU Pemilu yang telah diputus dalam Putusan 90 merupakan suatu peristiwa yang baru di MK.
Perkara 145/PUU-XXI/2023 yang diajukan pakar hukum tata negara Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar menguji secara formil proses pembentukan Putusan 90 yang dinilai catat karena salah seorang hakim yang memiliki benturan kepentingan tidak mengudurkan diri hingga ikut memutus perkara tentang syarat usia capres/cawapres itu.
Terlebih konflik kepentingan oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman itu juga telah dibuktikan oleh Putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK).
Menurut Arief, setelah Putusan 90, banyak permohonan dimohonoan ke MK sebagai upaya agar Mahkamah konstitusi menafsirkan kembali norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Ia kemudian mengatakan beberapa permohonan tersebut mempermasalahkan proses pembentukan atau formil Putusan 90.
Terkait hal tersebut, Arief mengatakan pada situasi normal putusan MK itu bersifat final dan mengikat sebagaimana diatur pada Pasal 24C ayat (1) UUD.
Namun, melihat dinamika dan perkembangan praktik pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi, terutama pasca Putusan 90, Arief menyarankan MK sebagai penafsir akhir konstitusi perlu menafsirkan ulang makna 'final dan mengikat' hanya apabila dihadapkan pada situasi yang abnormal.
"Definisi dan batasan dari situasi abnormal adalah situasi di mana saat Mahkamah mengadili suatu perkara ternyata terdapat dugaan kuat adanya intervensi dari cabang kekuasaan lain yang secara faktual maupun potensial merusak independensi Mahkamah dalam mengadili dan memutus perkara," ungkap Arief Hidayat.
"Adanya hak ingkar hakim yang diabaikan, hakim konstitusi yang memiliki benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung tidak mengundurkan diri, adanya kejanggalan dalam proses penanganan perkara, dan adanya kourum pengambilan keputusan yang terkesan dipaksakan," tambahnya.
Melihat situasi tersebut terjadi pada Putusan 90, Arief kemudian mengatakan, masyarakat pencari keadilan dapat saja mengajukan pengujian formil terhadap putusan MK yang bermasalah tersebut dengan tidak mengikutsertakan hakim konstitusi yang memiliki benturan kepentingan.