Soal Isu Pemakzulan Presiden, Pakar Nilai Tidak Mempunyai Basis Konstitusional
Fahri Bachmid berpendapat bahwa manuver yang dilakukan oleh petisi 100 itu sifatnya politis dan lebih berorientasi pada upaya mendelegitimasi Pemilu.
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr Fahri Bachmid, memberikan respons atas usulan pemakzulan Presiden Jokowi yang mencuat setelah sejumlah tokoh yang tergabung dalam Petisi 100 mendatangi Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD di kantornya.
Dr Fahri Bachmid berpendapat bahwa pemakzulan "Impeachment" terhadap Presiden harus memenuhi anasir-anasir absolut yang bersifat "Measurable".
Yaitu terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden dan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi mutlak tingkat keterbuktiannya "attainable".
"Artinya diluar article of impeachment sebagaimana rumusan konstitusi itu maka tidak cukup alasan atau berdasar untuk melakukan pemakzulan presiden," kata Fahri Bachmid kepada wartawan dikutip, Kamis (18/1/2024).
Baca juga: Respon Menko Luhut soal Isu Pemakzulan Presiden Jokowi: Terus Terang Saya Sedih
Fahri Bachmid berpendapat bahwa manuver yang dilakukan oleh petisi 100 itu sifatnya politis dan lebih berorientasi pada upaya mendelegitimasi Pemilu 2024.
"Ini sangat destruktif dalam upaya membangun demokrasi konstitusional saat ini sebab secara konstitusional discourse terkait pemakzulan presiden tidak mempunyai basis legal konstitusional, sehingga bernuansa imajiner belaka," ujarnya.
Fahri Bachmid menguraikan bahwa lembaga Pemakzulan/Impeachment Presiden telah diatur secara limitatif dalam konstitusi (UUD NRI 1945) seperti ketentuan norma Pasal 7A dan 7B.
Isinya mengatur bahwa "Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden".
Selanjutnya usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
"Ketentuan terkait proses tersebut kemudian diajukan Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR, ketika proses telah beralih pada MK, maka Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK," jelasnya.
Fahri Bachmid menguraikan bahwa apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
Langkah selanjutnya adalah MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak MPR menerima usul tersebut dan Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
"Setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR, dengan demikian merupakan sesuatu yang sangat mustahil dari aspek kaidah hukum tata negara untuk dilakukan proses pemakzulan presiden dalam ketiadaan sangkaan yang spesifik secara hukum," ujar Fahri Bachmid.
Sebelumnya, Menko Polhukam RI Mahfud MD menerima audiensi dari salah satu kelompok masyarakat sipil.
Mereka, kata Mahfud, terdiri dari Faizal Assegaf, Marwan Barubara, Letjen (Purn) Suharto, Syukri Fadoli, dan lainnya.
Mahfud mengatakan satu di antara yang mereka sampaikan adalah perihal usulan pemakzulan Presiden.
"Faizal dan kawan-kawan juga menyampaikan usulan pemakzulan presiden. Saya tidak menyatakan setuju atau tidak terhadap gagasan itu, tapi saya mempersilakan mereka untuk menyampaikannya ke Parpol dan DPR," kata Mahfud dalam keterangan yang terkonfirmasi pada Rabu (10/1/2024).
"Karena institusi itulah yang berwenang menangani usulan seperti itu, tentu dengan melalui prosedur dan memenuhi persyaratan sesuai undang-undang," kata dia.