Mantan Ketua KPK Firli Bahuri Tunjuk Fahri Bachmid Jadi Pengacara, Ajukan Praperadilan Kedua
Mantan Ketua KPK Firli Bahuri secara resmi menunjuk Pakar Hukum Tata Negara Dr. Fahri Bachmid sebagai Kuasa Hukum.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua KPK Firli Bahuri secara resmi menunjuk Pakar Hukum Tata Negara Dr. Fahri Bachmid sebagai Kuasa Hukum atau Pengacaranya dalam rangka mengajukan Permohonan (gugatan) Praperadilan terhadap Penetapan dirinya sebagai tersangka ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Firli Bahuri berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Desember 2023 menunjuk Dr. Fahri Bachmid dkk sebagai Advokat untuk mewakili kepentingan hukumnya agar mengajukan Permohonan Praperadilan atas penetapan tersangka yang diterbitkan/ditetapkan oleh Direskrimsus Polda Metro Jaya,
Dr. Fahri Bachmid ketika dihubungi di Jakarta membenarkan bahwa pada hari Senin 22 Januari 2024,
dirinya beserta Tim Hukum telah mendaftarkan Permohonan (gugatan) Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, serta telah teregister dengan nomor Perkara : 17/Pid.Pra/2024/PN JKT.SEL.
"Berdasarkan agenda persidangan gugatan praperadilan ini telah terjadwal sesuai rencana akan digelar persidangan perdana pada pekan depan, Selasa (30/1/2024), dengan Hakim Tunggal Estiono," ujar Fahri Bachmid.
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Djuyamto membenarkan adanya gugatan praperadilan yang diajukan oleh mantan Ketua KPK Firli Bahuri untuk yang kedua kalinya.
"Ya memang betul ada permohonan praperadilan yang didaftarkan kembali oleh Firli Bahuri melalui kuasa hukumnya pada hari Senin 22 Januari 2024," katanya saat dikonfirmasi, Selasa.
Djuyamto menjelaskan gugatan praperadilan itu bakal digelar perdana pada pekan depan atau tepatnya pada 30 Januari 2024.
Sebagai catatan gugatan kembali diajukan oleh Firli Bahuri ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin 22 Januari 2024.
Fahri Bachmid berpendapat, bahwa dalam konteks pengajuan gugatan Praperadilan Firli Bahuri ini, jika merifer pada Putusan MK No. 21/PUU- XII/2014, terdapat beberapa pertimbangan penting yang dikirimkan okeh MK.
Di antaranya ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia
adalah negara hukum, dalam prinsip negara hukum, asas "due process of law" sebagai salah satu perwujudan pengakuan HAM dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang wajib dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama oleh lembaga penegak hukum.
Dengan demikian negara terutama Pemerintah, secara konstitusional berkewajiban serta bertanggung jawab untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fullfill), dan melindungi (to protect) setiap warga negara.
"Negara berkewajiban memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan terhadap HAM dengan memberikan posisi yang seimbang berdasarkan kaidah hukum yang berlaku, termasuk dalam proses peradilan, khususnya bagi tersangka, dalam mempertahankan haknya secara seimbang.
Fahri Bachmid menguraikan bahwa Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, telah menegaskan bahwa pelaksanaan proses penyelidikan dan penyidikan harus memenuhi 2 (dua) alat bukti yang cukup dengan merujuk pada ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP.
"Jika hal tersebut tidak diterapkan dalam mengambil Keputusan menetapkan seseorang menjadi Tersangka, maka penetapan tersebut membawa implikasi tidak sah menurut hukum."
Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 32/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel pada tanggal 12 Mei 2015 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 ditetapkan dalam kasus konkret yang diajukan ke persidangan praperadilan.
Dalam pertimbangan Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut, Hakim yang memeriksa perkara menyatakan “oleh karena Termohon telah menetapkan Tersangka meskipun belum ditemukan bukti awal berupa 2 (dua) alat bukti maka penetapan tersebut tidak sah menurut hukum.”
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.