Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Dorong Amicus Curiae untuk Karen, Pengamat Sebut Pengadaan LNG Perintah Jabatan

gerakan sosial Amicus Curiae guna memberikan pembelaan hukum terhadap Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan.

Penulis: Erik S
Editor: Wahyu Aji
zoom-in Dorong Amicus Curiae untuk Karen, Pengamat Sebut Pengadaan LNG Perintah Jabatan
Istimewa
Praktisi hukum SHP Law Firm, Syaefullah Hamid. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Forum Diskusi Ketahanan Energi (FDKE), wadah berkumpulnya para mahasiswa, akademisi, pejabat, korporasi, praktisi, aktivis dan para pegiat terkait Energi, khususnya bidang Ketahanan Energi, para anggotanya bersepakat membangun gerakan sosial Amicus Curiae guna memberikan pembelaan hukum terhadap Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan.

Amicus Curiae atau friends of court atau biasa juga disebut ‘Sahabat Pengadilan’ adalah sebuah upaya hukum yang memungkinkan pihak ketiga, yaitu mereka yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan.

Praktisi hukum SHP Law Firm, Syaefullah Hamid, mengatakan Karen adalah korban kriminalisasi aparat penegak hukum yang dengan menggunakan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor telah ditetapkan sebagai tersangka dan dicekal sejak 7 Juni 2022.

Karen dituding melakukan pengadaan LNG Pertamina dari Corpus Christi Liquefaction (CCL) Amerika Serikat secara sepihak dan terjadi kelebihan pasokan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. 

“Padahal perjanjian Jual Beli LNG tersebut sudah dibatalkan keseluruhannya dan digantikan dengan perjanjian baru di tahun 2015 pada era Dwi Soetjipto, yang menggantikan Karen Agustiawan (pada 1 Oktober 2014 mengundurkan diri sebagai Dirut Pertamina),” jelas Syaifullah Dalam sebuah Diskusi 'Ngopi Bareng Awak Media' yang didukung Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) di Jakarta, dilansir Minggu (28/1/2024).

Selain itu Syaefullah juga mengatakan pengadaan LNG dari CCL itu adalah perintah jabatan dan merupakan sebuah aksi korporasi, yang prosesnya berlangsung dari bawah ke atas (bottom-up), sesuai dengan tupoksi dan telah disetujui secara kolektif kolegial oleh seluruh Anggota Direksi.

"Dalam Anggaran Dasar (AD) Pertamina juga mengatur bahwa keputusan yang diambil oleh Dewan Direksi boleh tanpa persetujuan dari Dewan Komisaris dan RUPS. Sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat 8 dan ayat 10 AD Pertamina dan juga Board Manual 2013, serta Memorandum Legal Corporate tanggal 24 Agustus 2013, jadi tidak benar kalau dituduh sepihak,” jelasnya.

BERITA TERKAIT

Terkait oversupply, Syaefullah menjelaskan bahwa kontrak pengadaan LNG akan berlangsung hingga 2040, dan kerugian yang terjadi pada tahun 2020 dan 2021 ini ditengarai akibat Pandemi Covid-19, di mana semua harga komoditas dunia anjlok dan sistem transportasi antarnegara terganggu, karena banyak pemberlakuan lockdown.

"Padahal dari impor LNG CCL ini Pertamina kini telah menerima keuntungan yang sangat besar. Sampai Desember 2023 saja, keuntungan yang diterima Pertamina sudah mencapai USD91.617.941 atau sekitar Rp1,425 Triliun. Sehingga tidak tepat disebut adanya kerugian negara," terangnya.

Gugatan Karen Agustiawan dkk Lanjut ke Persidangan

Sementara itu, gugatan perdata yang dilayangkan Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan, Mantan Direktur Gas Pertamina Hari Karyuliarto, dan Mantan Vice President Business Development and Commercial Gas Pertamina Djohardi Angga Kusumah kepada pihak Tergugat, yakni PT Pricewaterhouse Coopers Consulting Indonesia (PwC), akan dilanjutkan dengan sidang pokok perkara pada 1 Februari 2024.

Kuasa Hukum Penggugat, Humisar Sahala Panjaitan saat Diskusi 'Ngopi Bareng Awak Media' yang didukung oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) di Jakarta, Jumat (26/1/2024) mengatakan proses mediasi yang dilakukan di PN Jakarta Selatan menghasilkan deadlock.

“PwC kami gugat karena dalam Laporan Investigasi Pengelolaan Bisnis Portofolio LNG Pertamina tertanggal 23 Desember 2020, telah menyajikan beberapa kesimpulan yang Prematur, Tidak Akurat, Gegabah, dan Menyesatkan. Misalnya, dari 3 orang Klien kami, PwC hanya wawancara 1 orang sebagai auditee. PwC pun telah keliru atau salah dalam memahami Anggaran Dasar Pertamina, PwC tidak membaca dan/atau tidak memahami Board Manual, RKAP, RJPP PT Pertamina (Persero), dan lain-lain,” jelas Sahala.

Baca juga: BPK Ungkap Kasus Korupsi LNG Pertamina yang Ditangani KPK Rugikan Negara Rp 1,7 Triliun

Kemudian lanjut Sahala, Laporan PwC tersebut telah dijadikan sebagai salah satu dasar penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi Pengadaan LNG di PT Pertamina (Persero) tahun 2011 - 2021 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang berimbas kepada nasib kliennya.

"Sebelumnya Ibu Karen Agustiawan juga pernah menyampaikan surat kepada PwC tertanggal 9 Oktober 2023 yang menyatakan keberatan terkait hasil laporan tersebut, namun tidak ada respon dari pihak PwC atas keberatan tersebut," tambah Sahala.

Dalam perkara ini, Sahala menyampaikan Karen Agustiawan mengalami kerugian materiil  sebesar Rp6 miliar, dan Hari Karyuliarto sebesar Rp6,09 miliar. Sedangkan, kerugian immaterial sebesar USD78 juta.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas