Harlah Ke-101 NU, KH Marsudi Syuhud Sampaikan 6 Poin Harapannya
Tokoh NU yang juga Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Marsudi Syuhud mengungkapkan harapan tersebut.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Harlah Nahdlatul Ulama (NU) ke-101 yang jatuh pada 16 Rajab 1445 bertepatan dengan 28 Januari 2024 adalah momentum emas yang harus menjadi pendorong bagi seluruh pengurus dan warganya untuk jangan sampai terputus meninggalkan legesi-legesi besar yang berkesinambungan sampai saat ini, yang terus diharapkan tidak hanya oleh Bangsa Indonesia namun sampai bangsa di dunia.
Tokoh NU yang juga Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Marsudi Syuhud mengungkapkan harapan tersebut.
Pertama, paham keagamaan ahlussunnah waljama'ah (Aswaja) adalah paham keagamaan pemersatu bangsa yang pahamnya adalah tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang).
"Toleran tidak terlalu tathoruf ke kanan dan ke kiri, yang bisa diterima oleh seluruh kalangan hidup bersama coexisting satu sama lain, baik satu agama atau hidup berdampingan dengan masyarakat yang beraneka ragam agamanya, suku, bangsa dan negaranya," ujar Kiai Marsudi Syuhud, Minggu (28/1/2024).
Baca juga: Jokowi Minta Muslimat NU Jangan Mau Diadu Domba Karena Pemilu
Dia mengatakan terus membumikan paham Aswaja, yang kemudian menjadi budaya kebangsaan yang mulai beberapa periode kepemimpinan NU ke belakang sudah menjadi rujukan tidak sekedar di Indonesia namun juga International dalam hal moderasi beragama dan juga jadi referensi dan diadopsi bangsa lain untuk dapat hidup saling menghormati, menghargai, satu sama lain.
"Paham ini adalah paham pembumian nilai-nilai agama dengan sosial kemasyarakatan sehingga menjadi budaya yang kuat yang bisa diexport ke berbagai belahan Dunia," kata Kiai Marsudi.
Kedua, ia melanjutkan keorganisasian NU yang terus berkembang tahun demi tahun, periode demi periode, sekarang sudah sampai tidak sekedar mempunyai pengurus dari tingkatan PBNU sebagai pusat pimpinan, wilayah di propinsi, cabang di kabupaten/kota, anak cabang di kecamatan, ranting di kelurahan, anak ranting di RT/RW.
"Namun dalam perkembangannya yang telah dilakukan oleh pengurus NU terdahulu sudah sampai pengurus di tingkatan Internasional, yang kedepan pengurus sekarang terus mengembangkan bagaimana NU diterima di negara-negara yang warga negara aslinya yang jadi anggota dan pimpinan NU di negara setempat." ujarnya.
"Dari sini silaturahim atau network terbentuk dan Islam Rahmatan Lil'alamin bisa dirasakan oleh penduduk dunia," kata Kiai Marsudi menambahkan.
Yang ketiga, lanjut Kiai Marsudi, dalam hal pendidikan dan kesehatan, pendidikan para sesepuh dan para Kiai NU peletak dasar utama lembaga pendidikan di nusantara.
Tidak sekedar di Indonesia yang dimulai sebelum Republik Indonesia berdiri yaitu pendidikan pesantren Salafiyah yang mengajarkan ilmu-ilmu kehidupan melalui kitab kitab Turost (kitab kuning) yang sampai saat ini masih digunakan dari kitab, tauhid, fiqih, akhlak, dari ubudiyah sampai ekonomi, hukum-hukum sampai astronomi dan lain sebagai nya.
"Terus berkembang sampai sekarang menjadi lebih dari 27 ribu pesantren dengan jumlah santri tujuh jutaan,” ungkap Kiai Marsudi yang pernah menjabat ketua dan Sekjen PBNU ini.
Kiai Marsudi memaparkan pesantren lembaga Pendidikan NU terutama di Indonesia yang terus berkembang yang berangkat dari desa sudah sampai ke kota/.
Kalau Muhamadiyah berangkat dari kota ke desa berupa sekolah namun pada perkembangannya, pesantren sekarang sudah mengadopsi sekolah juga, dari SD, SMP, SMA, SMK, MI, MTs, MA, yang berjumlah 45 ribuan dan ratusan Sekolah Tinggi, Intitutes, dan Universitas, S1,S2,S3.