Jamintel Kejaksaan Agung Sebut Free Movement Picu Meningkatnya WNA yang Terlibat Perkara
Menyikapi dampak negatif dari Free Movement ini, Reda kemudian menyinggung kewenangan Jamintel yang dapat melakukan cegah dan tangkal (cekal).
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) Reda Manthovani mengungkapkan bahwa jumlah perkara yang melibatkan warga negara asing (WNA) mengalami peningkatan di setiap tahunnya.
Berdasarkan data, peningkatan cukup signifikan terjadi pada tahun lalu, yakni 2023.
Pada tahun tersebut, jumlah perkara yang melibatkan WNA mencapai 96 orang, meningkat 38 dari tahun 2022.
Baca juga: Kejagung Ungkap Kendala Pembuktian Aliran Uang Korupsi BTS ke Menpora dan Komisi I DPR
Sedangkan pada tahun 2022, hanya bertambah 3 perkara.
"Menurut data yang ada, penanganan perkara yang melibatkan Warga Negara Asing selalu meningkat tiap tahunnya. Pada tahun 2021 sebanyak 55 perkara, 2022 sebanyak 58 perkara dan 2023 sebanyak 96 perkara," ujar Jamintel, Reda Manthovani dalam Rapat Pimpinan Imigrasi dengan tema Sinergitas Kejaksan Agung dengan Imigrasi dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Senin (29/1/2024).
Baca juga: Reda Manthovani Dilantik Jadi Jamintel Kejaksaan Agung, Ini Harapan Akademisi
Meningkatnya jumlah perkara yang melibatkan WNA ini disebut Reda sebagai dampak negatif dari adanya Free Movement atau peningkatan mobilitas penduduk global.
Salah satu bentuk nyata Free Movement menurut Reda ialah Deklarasi Masyarakat ASEAN (MEA) yang kemudian termaktub dalam Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 21 Tahun 2016 tentang Bebas Visa Kunjungan di Wilayah ASEAN.
Dia pun memberi contoh dari dampak negatif Free Movement, yakni perkara penyelundupan etnis Rohingya di Aceh pada akhir 2023.
"Dampak negatif Free Movement dalam keimigrasian yakni berpotensi membahayakan keamanan dan ketertiban negara. Contohnya adalah penanganan perkara yang ditangani oleh Penyidik Polresta Banda Aceh, yaitu pengungkapan kasus penyelundupan manusia terhadap 137 orang Etnis Rohingya," kata Reda.
Menyikapi dampak negatif dari Free Movement ini, Reda kemudian menyinggung kewenangan Jamintel yang dapat melakukan cegah dan tangkal (cekal).
Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Kejaksaan Pasal 35 Ayat 1 huruf f dan Undang-Undang Keimigrasian Pasal 91 Ayat 2.
Koordinasi dengan pihak-pihak terkait pun menjadi keharusan untuk menerapkan Digitalisasi Satu Data.
"Kejaksaan mendorong adanya koordinasi dan pertukaran data orang asing yang dikomandoi Direktorat Jenderal Imigrasi dengan mengikuti kaidah interoperabilitas melalui Digitalisasi Satu Data,” katanya.