UU Kejaksaan Digugat ke MK, Pemohon Minta Jaksa Agung Tak Terafiliasi Partai Politik
Undang-Undang Kejaksaan kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh seorang jaksa bernama Jovi Andrea Bachtiar.
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang Kejaksaan kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan penelusuran laman tracking MK, gugatan tersebut didaftarkan pada akhir November 2023 lalu.
Namun perkara tersebut baru teregistrasi pada Rabu (3/1/2024) dengan nomor 6/PUU-XXII/2024.
Penggugat dalam perkara ini ialah seorang jaksa bernama Jovi Andrea Bachtiar.
Substansi yang dimohonkan untuk diuji materil kali ini adalah Pasal 20 Undang-Undang Kejaksaan.
Pasal tersebut mengatur tentang syarat seseorang dapat diangkat menjadi Jaksa Agung, pucuk pimpinan dari Korps Adyaksa.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Tunda Sidang Uji Materiil UU Kejaksaan
Adapun bunyi Pasal 20 Undang-Undang Kejaksaan;
Untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia;
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. Berijazah paling rendah Sarjana Hukum;
e. Sehat jasmani dan rohani; dan
f. Berintegritas, berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
Dalam petitumnya, pemohon ingin agar pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"PEMOHON memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar berkenan memberikan atau mengeluarkan putusan Menyatakan bahwa Pasal 20 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Jovi dikutip dari dokumen permohonannya di laman tacking perkara MK, Senin (5/2/2024).
Baca juga: Jaksa Ajukan PK Tandingan, Notaris Gugat UU Kejaksaan ke MK
Alasannya, pasal tersebut tidak mencantumkan ketentuan agar Jaksa Agung yang dipilih tak terafiliasi dengan partai politik (Parpol).
Menurut Jovi, pasal tersebut mesti diisi dengan poin tambahan yang berbunyi:
g. Tidak sedang terdaftar sebagai anggota partai politik atau setidak-tidaknya telah 5 (lima) tahun keluar dari keanggotaan partai politik baik diberhentikan maupun mengundurkan diri.
Dalam permohonan 6/PUU-XXII/2024 ini, pemohon mengungkit perbedaan persyaratan menjadi jaksa dan Jaksa Agung.
Untuk menjadi seorang jaksa, seseorang diharuskan terbebas dari afiliasi partai politik manapun.
"Salah satu kebijakan afirmatif yang terdapat dalam UU KEJAKSAAN juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara adalah adanya kebijakan bahwa seorang yang berstatus sebagai seorang Jaksa sudah pasti tidak sedang terdaftar sebagai anggota partai politik," katanya.
Karena itulah, pucuk pimpinannya juga perlu adanya prasyarat tegas yang mengatur keterkaitan dengan parpol.
Jika calon Jaksa Agung tersebut merupakan mantan anggota parpol, maka harus sudah keluar setidaknya 5 tahun sebelum diangkat.
"Sebab bagaimana mungkin PEMOHON yang merupakan seorang Jaksa dilarang untuk menjadi anggota partai politik tetapi Pasal 20 UU KEJAKSAAN malah memberikan ruang kesempatan bagi anggota partai politik untuk diangkat menjadi Jaksa Agung yang notabennya merupakan pimpinan tertinggi Kejaksaan Republik Indonesia sekaligus Penuntut Umum Tertinggi dan Jaksa Pengacara Negara," katanya.
Permohonan ini kemudian disidangkan perdana pada Kamis (1/2/2024) dengan sejumlah masukan dari para Hakim Konstitusi.
Di antara masukan tersebut, Majelis meminta agar permohonan tidak memberi kesan bahwa MK sebagai positive legislator dengan menambah ketentuan baru.
"Mungkin petitumnya bisa ditambahkan dimaknai, ini bisa menjadi alternatif sehingga MK tidak keluar menjadi positive legislator," kata Hakim Arief Hidayat dalam persidangan.
Dengan begitu, pemohon diminta untuk memperbaiki permohonannya.
Berdasarkan KUHAP, perbaikan permohonan dapat dilakukan maksimal 14 hari, yakni Kamis (15/2/2024).
Namun Majelis menyarankan agar perbaikan dilakukan sebelum jangka waktu maksimal.
Sebab ke depannya, MK akan disibukkan dengan penanganan perkara-perkara Pemilihan Umum (Pemilu), mengingat pencoblosan dilakukan pada Rabu (14/2/2024).
"Jadi hari ini Kamis 1 Februari 2024, selambat-lambatnya, perbaikan itu sudah diterima Mahkamah 15 Februari 2024. Tapi karena sebentar lagi kami Mahkamah ini akan menghadapi agenda sidang sengketa Pemilihan Umum, baik Pilpres maupun Pileg, kalau anda bisa memperbaikinya lebih cepat, cepat saja dimasukkan ke Mahkamah Konstitusi," ujar Hakim Saldi Isra.