Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Warga Antre & Berdesakan Dapatkan Beras Murah, Peneliti BRIN: Bukan Potret yang Baik

Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat kenaikan harga beras telah merambah hingga 268 kabupaten/kota di Indonesia.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Warga Antre & Berdesakan Dapatkan Beras Murah, Peneliti BRIN: Bukan Potret yang Baik
Tribun Jabar/Gani Kurniawan
Warga mendapat satu kantong plastik beras isi 5 kilogram setelah antre membeli dalam Operasi Pasar Beras Medium Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) di Kelurahan Batununggal, Jalan Terusan Buahbatu, Kecamatan Bandung Kidul, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (21/2/2024). Warga Kota Bandung antusias dengan hadirnya Operasi Pasar Beras Medium SPHP yang menjual beras kualitas baik dengan harga Rp 53.000 per lima kilogram jauh lebih murah dari harga pasar. Operasi pasar beras murah ini sangat diharapkan warga bisa digelar rutin dan semua warga kurang mampu bisa semua kebagian. TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan pemerintah menggelar operasi pasar dan pasar murah di berbagai daerah sehingga membuat warga antre dan berdesak-desakan demi mendapatkan beras murah, dinilai justru memperlihatkan wajah kemiskinan dan keputusasaan warga.

Sementara Badan Pusat Statistik mencatat kenaikan harga beras telah merambah hingga 268 kabupaten/kota di Indonesia.

Koordinator Kelompok Riset Kemiskinan, Ketimpangan, dan Perlindungan Sosial Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Yanu Endar Prasetyo mengatakan pihaknya menyayangkan kebijakan pemerintah menggelar operasi pasar dan pasar murah di berbagai daerah, sehingga membuat warga antre dan berdesak-desakan demi mendapatkan beras murah.

“Wajah kemiskinan dan keputusasaan warga ini tentu bukan potret yang baik. Miris melihat bagaimana sebuah negara yang dulu pernah swasembada beras, pernah mendapat julukan negara agraris, dan menjadi eksportir beras dunia, kini bahkan kewalahan menyediakan sumber pangan pokok untuk warganya sendiri,” jelas Yanu, Selasa (27/2/2024).

Kondisi ini, menurut Yanu, akan terus mendatangkan sejumlah kegelisahan baru.

“Siapa yang bisa menjamin perubahan iklim dan pergeseran musim tanam akan kembali normal? Bagaimana jika justru semakin tidak menentu? Jika produksi dalam negeri tidak meningkat dan negara-negara produsen beras lainnya melarang ekspor (restriksi), dari mana kita akan mampu mencukupi kebutuhan pokok beras ini?” ujar Yanu, yang meraih gelar PhD Bidang Sosiologi Perdesaan pada University of Missouri, Columbia, AS.

Merujuk pada Program Strategis Nasional (PSN) Food Estate (Lumbung Pangan) yang dianggap sebagai solusi, Yanu berpendapat Food Estate belum mampu menunjukkan hasilnya. Ia justru khawatir Lumbung Pangan akan menambah daftar masalah baru berupa pemborosan anggaran dan deforestasi yang ugal-ugalan.

Berita Rekomendasi

“Jika solusinya adalah diversifikasi dan kembali ke pangan lokal, sudah sejauh mana negara dan kita semua melawan ketergantungan pada beras ini secara serius?” tukasnya.

Kenaikan harga beras

Sebelumnya, jelang bulan Ramadan, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis kenaikan harga beras telah merambah hingga 268 kabupaten/kota di Indonesia.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini menyatakan, daerah yang mengalami lonjakan harga beras terus bertambah dan pada pekan ini harga rata-rata nasional beras mencapai Rp15.387 per kg, setelah sempat berada di puncak harga tertinggi, yaitu Rp 18.000/kg.

"Kalau kita lihat secara spasial, terlihat di beberapa wilayah kabupaten/kota di Pulau Sumatera dan Jawa masih mengalami kenaikan harga beras cukup tinggi, di kisaran 10 hingga 30 persen," kata Pudji pada Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah di Jakarta, Senin (26/2/2024).

Pudji menjelaskan, secara nasional rata-rata harga beras berdasarkan catatan BPS pada level Rp 15.387 per kilogram (kg). Jika dibandingkan harga Januari 2024 sampai minggu keempat Februari, terjadi kenaikan harga beras sebesar 5,44%.

Terkait kondisi tersebut, Yanu melanjutkan, tingginya tingkat konsumsi beras menjadikan komoditas ini sebagai pendorong inflasi year-to-year (yty) maupun month-to-month (mtm).

Beras, disebut Yanu, juga menjadi penyumbang angka kemiskinan, mengingat 50,32% pengeluaran warga miskin Indonesia dihabiskan untuk belanja makanan, yang bagian pokoknya adalah beras.

“BPS dan Bank Indonesia melaporkan, komoditas beras masih mengalami inflasi sebesar 0,64% (mtm) dengan andil inflasi sebesar 0,03% pada Januari 2024. Hal itu menyebabkan komponen inflasi volatile food (komponen bergejolak) meningkat menjadi 7,22%,” ujarnya.

Yanu berpendapat beras memiliki arti penting bagi mayoritas warga berpendapatan rendah. Setiap kenaikan harga bahan kebutuhan pokok, utamanya beras, akan menambah jumlah dan porsi pengeluaran. Ia menyatakan, hingga saat ini, beras masih menjadi pengeluaran terbesar bagi penduduk miskin.

“Di sisi lain, ketika pengeluaran meningkat, tapi pendapatan tetap atau tidak bertambah, beban ekonomi rumah tangga miskin semakin berat. Terlebih jika kenaikan harga merembet kepada barang kebutuhan pokok lainnya,” pungkasnya. (**)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas