MK Tolak Permohonan Uji Formil UU Kesehatan dari IDI, Berikut Pertimbangan Hakim
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang tersebut.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang diajukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) pada Kamis (29/2/2024).
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang tersebut.
Berikut pertimbangan hukum dari hakim MK yang dikutip dari website MK, Jumat (1/3/2024):
1. Pembatasan Kewenangan Legislasi DPD
Hakim Konstitusi Arsul Sani, mengatakan sejak awal desain kelembagaan DPD dalam menjalankan fungsi legislasi tidaklah penuh seperti halnya kekuasaan legislasi DPR.
Oleh karena itu, DPD tidak serta merta berwenang membahasnya, karena telah dibatasi oleh UUD 1945.
"Oleh karena itu, menurut Mahkamah, UU Kesehatan sekalipun mengandung aspek daerah dan beririsan dengan pemerintah daerah, tidak serta merta dimaknai bahwa UU Kesehatan berkaitan langsung dengan otonomi daerah atau hubungan pusat dan daerah," ungkap Arsul.
Para Pemohon mendalilkan bahwa UU Kesehatan memiliki materi muatan yang berkaitan dengan pendidikan, sehingga seharusnya mendapat pertimbangan dari DPD.
Terhadap dalil demikian, Mahkamah berpendapat bahwa rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 tidaklah dapat begitu saja dimaknai jika sebuah undang-undang memiliki aspek dan beririsan dengan bidang pendidikan berarti langsung disebut sebagai rancangan undang-undang yang mengatur tentang pendidikan, seperti halnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Arsul melanjutkan meskipun UU Kesehatan mengandung aspek pendidikan di dalamnya tidaklah serta merta menjadi kewenangan DPD untuk memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undangnya.
Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), pembagian urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan untuk pengelolaan pendidikan tinggi merupakan kewenangan Pusat.
Sedangkan daerah provinsi mengelola pendidikan menengah dan pendidikan khusus, serta daerah kabupaten/kota berwenang mengelola pendidikan dasar, pendidikan anak usia dini, dan pendidikan non-formal.
Selain itu Arsul juga mengatakan pada faktanya DPD tidak mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam perkara ini.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.