Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

MK Hapus Pasal Hoaks dan Pencemaran Nama Baik, Polri Sebut Bakal Patuhi

Trunoyudo menyebut putusan MK tersebut tidak berlaku surut. Sehingga hanya berlaku terhadap peristiwa yang terjadi pasca putusan tersebut disahkan.

Penulis: Abdi Ryanda Shakti
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in MK Hapus Pasal Hoaks dan Pencemaran Nama Baik, Polri Sebut Bakal Patuhi
Tribunnews.com/Fahmi Ramadhan
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdi Ryanda Shakti

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polri buka suara soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus pasal penyebaran berita bohong (hoaks) dan pencemaran nama baik.

Terkait itu, Polri sendiri mengaku bakal memenuhi ketentuan dengan beradaptasi dan mengkaji aturan tersebut.

"Apabila ada ketentuan seperti itu tentu Polri akan beradaptasi. Kemudian mengkaji dan tunduk dan patuh pada aturan yang terbaru," ujar Karo Penmas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko kepada wartawan, Jumat (22/3/2024).

Meski begitu, Trunoyudo menyebut putusan MK tersebut tidak berlaku surut. Sehingga hanya berlaku terhadap peristiwa yang terjadi pasca putusan tersebut disahkan.

"Tentu apa yang sudah kita lakukan langkah-langkahnya tidak berlaku surut," tuturnya.

Untuk informasi, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan untuk sebagian permohonan pengujian perkara 78/PUU-XXI/2023, yang diajukan Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanti.

Berita Rekomendasi

Permohonan itu menguji Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945.

Selaku para Pemohon perkara ini, yaitu Haris Azhar, Fatiah Maulidiyanty, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ucap Ketua MK Suhartoyo, dalam persidangan di ruang Sidang Pleno Gedung MK RI, Jakarta, Kamis (21/3/2024).

Mahkamah menyatakan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 tidak dapat diterima.

Lalu, MK menyatakan Pasal Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sedangkan, MK berpendapat, Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan, "Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah", bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan cara lisan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menilai Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 telah kehilangan objek karena pada 2 Januari 2024, Presiden telah mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

"Oleh karena itu, sebagian materi norma dalam UU 11/2008 dan UU 19/2016 telah mengalami perubahan dan sebagian norma dinyatakan tidak berlaku lagi, termasuk perubahan terhadap pasal-pasal yang dimohonkan pengujian oleh para pemohon," kata Hakim Konstitusi.

Tak hanya itu, MK mengatakan Pasal 310 ayat (1) KUHP telah diakomodir di dalam Pasal 433 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Mahkamah menilai terdapat perbedaan antara ketentuan norma dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP dengan norma Pasal 433 UU 1/2023 yakni dalam Pasal 433 UU 1/2023 terdapat penegasan pelaku melakukan perbuatan pencemaran mencakup perbuatan "dengan lisan" dimana unsur tersebut tidak diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP.

"Oleh karena itu, tanpa Mahkamah bermaksud menilai konstitusionalitas Pasal 433 UU 1/2023 yang baru mempunyai kekuatan mengikat setelah tiga tahun sejak diundangkan, yaitu tanggal 2 Januari 2026, maka penegasan berkenaan dengan unsur perbuatan "dengan lisan" yang terdapat dalam Pasal 433 UU 1/2023 bisa diadopsi atau diakomodir guna kepastian hukum dalam penerapan ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP," jelas Enny.

"Dengan demikian, norma Pasal 310 ayat (1) KUHP dimaksud dapat memberikan kepastian hukum dan mempunyai jangkauan kesetaraan yang dapat mengurangi potensi adanya perbedaan perlakuan atau diskriminasi terhadap addresat norm atas ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP, sehingga dalam penerapannya tidak menimbulkan ambiguitas," tambahnya.

Lebih lanjut, MK juga menilai ketentuan norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 serta Pasal 310 ayat (1) KUHP tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Oleh karena itu, menurut MK, dalil-dalil para pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 serta Pasal 310 ayat (1) KUHP adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Haris dkk meminta MK menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 UU KUHP, Pasal 310 ayat (1) KUHP; dan Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan sejumlah pasal.

Haris dan Fatia sempat diadili di PN Jakarta Timur karena terlibat kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.

Dalam perkara itu, Haris dan Fatia divonis bebas. Mereka dinilai tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan jaksa dalam Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3 Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 14 ayat 2 jo Pasal 15 UU 1/1946, dan Pasal 310 KUHP. Setiap pasal tersebut disertai dengan Pasal 55 ayat 1 KUHP.

Sehingga, majelis hakim meminta harkat dan martabat Haris dan Fatiah dipulihkan seperti semula.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas