Crazy Rich PIK Helena Lim Jadi Tersangka, Ini Kronologis Kasus Korupsi Timah yang Menjeratnya
Kronologis terungkapnya kasus korupsi PT Timah hingga menjerat Crazy Rich Pantai Indah Kapuk (PIK), Helena Lim.
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung mengungkap asal-usul Crazy Rich Pantai Indah Kapuk (PIK), Helena Lim terseret kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah.
Kejaksaan Agung diketahui sudah menetapkan Helena Lim menjadi tersangka dan dilakukan penahan, Selasa (26/3/2024).
Kasus korupsi yang menjerat Helena Lim ini mulai disidik Kejaksaan Agung pada Kamis (12/10/2023).
Saat itu tim penyidik menemukan adanya kerja sama secara ilegal antara perusahaan negara, PT Timah dengan pihak swasta terkait pengelolaan lahan tambang timah.
Hasil dari penambangannya kemudian dijual kepada PT Timah dengan harga rendah, sehingga menimbulkan kerugian negara.
"Adanya kerja sama secara ilegal antara PT Timah dengan pihak lain, yaitu pihak swasta, di mana kerja sama tersebut menghasilkan hasil tambang timah yang dibeli kembali secara ilegal oleh PT Timah sehingga menyebabkan potensi kerugian negara dalam perkara ini," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana dalam keterangannya, Selasa (17/10/2023).
Baca juga: Baju yang Dipakai Crazy Rich PIK Helena Lim Saat Ditahan Kejaksaan Harganya Rp 29 Juta
Lima hari setelah status perkara ditingkatkan ke penyidikan, Kejaksaan Agung kemudian menggeledah tiga lokasi di Kabupaten Bangka Selatan.
3 lokasi yang digeledah tersebut di antaranya:
- Rumah Tinggal yang beralamat di Jalan Toboali-Sadai, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan
- Rumah Tinggal yang beralamat di Jalan Raya Puput Sadai, Desa Keposang, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan
- Satu tempat di Jalan Jenderal Soedirman Toboali, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan.
Dari ketiga tempat itu, tim penyidik memperoleh dokumen yang berkaitan dengan proses kerja sama antara pihak PT Timah dengan pihak swasta.
Selain itu, ditemukan pula barang bukti elektronik dari penggeledahan itu.
Dari bukti permulaan itu, memperkuat indikasi adanya kongkalikong antara pihak PT Timah dengan pihak swasta yang dalam hal ini merupakan penambang liar.
Baca juga: Kejaksaan Agung Dalami CSR Crazy Rich PIK Helena Lim di Kasus Korupsi Tambang
"Ya dugaan keterlibatan, kemungkinan besar seperti itu, kongkalikong," ujar Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejaksaan Agung, Kuntadi.
Secara garis besar, Kuntadi menerangkan bahwa kasus ini berkaitan dengan wilayah izin usaha pertambangan (IUP) milik PT Timah di Bangka yang pada kenyataannya dikelola oleh pihak swasta secara ilegal.
Kemudian, hasil tambangnya dijual lagi ke PT Timah.
"Jadi intinya ya dia (PT Timah) seperti membeli barang dia sendiri," katanya.
Pada awal tahun, Kamis (25/1/2024), tim penyidik terlebih dulu menetapkan tersangka dalam obstruction of justice atau perintangan proses hukum.
Tersangka pertama yang dijerat ialah Toni Tamsil, adik bos timah asal Bangka bernama Tamron alias Aon.
Dia menjadi tersangka karena diduga menghalang-halangi saat tim penyidik melakukan penggeledahan pada Kamis (25/1/2024) di perusahaanya, CV Venus Inti Perkasa.
"Dengan cara menggembok akses pintu beberapa tempat dan termasuk mengamankan sejumlah dokumen yang sedianya akan kita ambl di kantor PT Venus yang disembunyikan oleh yang bersangkutan di mobil Suzuki Swift," kata Dirdik Jampidsus, Kuntadi.
Kemudian Toni Tamsil alias Akhi juga menghalang-halangi dengan cara tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar sebagai saksi dan diduga kuat menghilangkan barang bukti elektronik.
Akibatnya, dia dijerat Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun sang kakak, Aon ditetapkan tersangka pada Selasa (6/2/2024).
Selain Aon, tim penyidik juga menetapkan manager operasional tambang pada perusahaan milik Aon, yakni CV Venus Inti Perkasa (VIP), Achmad Albani (AA).
"Kita telah memeriksa saudara TN selaku beneficial ownership CV VIP dan PT MCN dan saudara AA selaku Manager Operasional Tambang CV VIP. Berdasarkan alat bukti yang telah kami kumpulkan sebelumnya, tim penyidik menyatakan telah cukup alat bukti dan selanjutnya keduanya kita tingkatkan statusnya sebagai tersangka," kata Kuntadi dalam konferensi pers, Selasa (6/2/2024).
Dalam perkara ini, Aon sebagai beneficial ownership alias pemilik manfaat CV VIP disebut-sebut berperan berkerja sama dengan PT Timah untuk penyewaan peralatan processing pemurnian timah pada tahun 2018 yang belakangan diketahui hanya sebagai kedok.
Dalam pelaksanaannya, Aon memerintahkan Albani untuk menyediakan kebutuhan biji timah.
Namun biji timah yang dikumpulkan ternyata berasal dari sumber ilegal melalui perusahaan-perusahaan boneka, yakni CV SPP, CV MJT, dan CV NB.
Untuk membuat biji timah ilegal tersebut seolah-olah legal, Aon bekerja sama dengan PT Timah untuk penerbitan surat perintah kerja (SPK).
"Untuk melegalkan biji timah yang diperoleh secara ilegal tersebut, maka PT Timah mengeluarkan SPK yang seolah-olah di antara CV tersebut ada pekerjaan pemborongan pengangkutan sisa pemurnian mineral timah. Akibat dari perbuatan tersebut maka negara mengalami kerugian," kata Kuntadi.
Sementara untuk penyelenggara negaranya, ditetapkan sebagai tersangka pada Jumat (16/2/2024).
Tersangka itu ialah eks Direktur Utama (Dirut) PT Timah, M Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) dan eks Direktur Keuangan PT Timah, Emil Emindra (EML).
Dalam perkara ini, mereka berperan menanda tangani perjanjian kerja sama dengan perusahaan swasta tentang sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah.
Mereka juga berperan melegalkan kegiatan perusahaan-perusahaan boneka yang secara ilegal menambang timah dengan menerbitkan Surat Perintah Kerja Borongan Pengangkutan Sisa Hasil Pengolahan (SHP) mineral timah.
Hasil tambang ilegal tersebut, baik mentah maupun olahan, kemudian dijual lagi ke PT Timah.
Untuk membeli biji timah itu, PT Timah harus menggelontorkan uang Rp 1,72 triliun lebih.
Kemudian untuk proses pelogamannya, PT Timah mengeluarkan biaya Rp 975,5 juta sejak 2019 hingga 2022.
Lalu penyelenggara negara lain yang sudah ditetapkan tersangka ialah eks Direktur Operasional PT Timah, Alwin Albar (ALW).
Dia ditetapkan tersangka pada Jumat (8/3/2024).
Dalam perkara ini, tim penyidik menemukan bahwa Alwi lah yang berperan menawarkan pemilik smelter untuk bekerja sama dengan membeli hasil penambangan ilegal melebihi harga standar yang ditetapkan oleh PT Timah tanpa melalui kajian terlebih dahulu.
Dia juga disebut-sebut menyetujui perjanjian agar seolah-olah terdapat kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah dengan para smelter.
"Guna melancarkan aksinya untuk mengakomodir penambangan ilegal, tersangka ALW bersama dengan tersangka MRPT dan tersangka EE menyetujui untuk membuat perjanjian seolah-olah terdapat kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah dengan para smelter," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum, Ketut Sumedana.
Kemudian sepanjang penyidikan perkara ini, pihak swasta dari perusahaan yang berbeda-beda ditetapkan sebagai tersangka.
Modus yang dilakukan cenderung sama dengan Aon dan dan Albani dari CV VIP, yakni kerja sama dibuat seolah-olah terkait kegiatan sewa-menyewa alat processing tambang dan pengumpulan bijih timah dilakukan menggunakan perusahaan boneka.
Pihak swasta yang ditetapkan tersangka hingga kini ialah: Pemilik CV Venus Inti Perkasa (VIP), Tamron alias Aon (TN); Manajer Operasional CV VIP, Achmad Albani (AA); Komisaris CV VIP, BY; Direktur Utama CV VIP, HT alias ASN; General Manager PT Tinindo Inter Nusa (TIN) Rosalina (RL); Direktur Utama PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS) berinisial RI; SG alias AW selaku pengusaha tambang di Pangkalpinang; MBG selaku pengusaha tambang di Pangkalpinang; Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT), Suparta (SP); dan Direktur Pengembangan Usaha PT RBT, Reza Andriansyah (RA).
Teranyar, tim penyidik menjerat Crazy Rich Pantai Indah Kapuk (PIK), Helena Lim sebagai tersangka pada Selasa (26/3/2024).
Helena yang menjabat sebagai Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) diduga berperan memberikan bantuan pengelolaan hasil tindak pidana korupsi.
Pengelolaan hasil korupsi itu dikemas dalam bentuk corporate social responsibility (CSR).
Namun nilai hasil korupsi yang dikemas dalam bentuk CSR itu masih didalami tim penyidik.
"Ini masih dalam proses penyidikan, mengenai jumlah. Tapi yang jelas, yang perlu kita tegaskan disini bahwa CSR disitu adalah dalih saja. Benar atau tidaknya ada penggelontoran dana CSR itu masih kita dalami," ujar Dirdik Jampidsus Kejaksaan Agung, Kuntadi dalam konferensi pers Selasa (26/3/2024) malam.
Meski demikian, dipastikan bahwa tindakan menyamarkan hasil korupsi dalam bentuk CSR ini menguntungkan Helena dan tersangka lain.
Namun sejauh ini Kejaksaan Agung masih bungkam soal tersangka mana yang terkait dengan Helena.
"Yang bersangkutan selaku manajer PT QSE (Quantum Skyline Exchange) diduga kuat telah memberikan bantuan mengelola hasil tindak pidana kerja sama penyewaan peralatan proses peleburan timah di mana yang bersangkutan memberikan sarana dan prasarana melalui PT QSE untuk kepentingan dan keuntungan yang bersangkutan dan para peserta yang lain," kata Kuntadi.