Penampilan Helena Lim dan Harvey saat Ditahan, Harga 1 Baju Helena Bisa Beli 120 Stel Seragam Jaksa
Pakaian yang digunakan Helena Lim dan Harvey Moeis saat digelandang oleh petugas Kejaksaan Agung ternyata dibanderol dengan harga fantastis.
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ada yang mencuri perhatian saat Helena Lim dan Harvey Moeis hendak dijebloskan ke tahanan setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah.
Pakaian yang digunakan dua pengusaha itu saat digelandang oleh petugas Kejaksaan Agung ternyata dibanderol dengan harga fantastis.
Penampilan mencolok pun terlihat dari Helena ketika dirinya memakai baju keluaran rumah mode Christian Dior yang dibalut rompi merah muda Kejagung.
Baju mewah itu berjenis blus dengan motif monogram Dior Oblique yang dikenalkan oleh desainer, Marc Bohan.
Berdasarkan penelusuran Tribunnews.com di laman resmi Dior, baju yang dipakai Helena mencapai harga 3.023 dolar AS atau setara dengan Rp 48 juta.
Jika dibandingkan dengan harga baju branded Helena bisa membeli sekitar 120 seragam dinas Kejaksaan Agung yang dijual di marketplace.
Dari penelusuran Tribun, sebuah akun penjual menawarkan harga paling murah seragam PDH Kejaksaan senilai Rp 350 ribu.
Gaya mewah juga diperlihatkan Harvey ketika ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi sehari setelah Helena.
Diketahui, Harvey ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi timah, pada Rabu (27/3/2024).
Berbeda dengan Helena yang memakai atasan mewah, Harvey tampil dengan celana panjang bahan yang longgar berwarna hitam.
Menurut video yang viral di media sosial, pria kelahiran 39 tahun lalu itu terlihat memakai celana hitam dari rumah mode asal Paris, Maison Margiela.
Hal tersebut diketahui lewat detail empat garis jahitan putih yang tampak menyilang dan terpisah di bawah pinggang belakang.
Adapun detail tersebut turut menjadi logo dari Maison Margiela.
Sementara berdasarkan penelusuran Tribunnews.com di situs penjualan barang mewah, FarFetch, harga celana panjang hitam yang dipakai Harvey mencapai 1.000 dolar AS atau setara Rp 15,8 juta.
Duduk Perkara Kasus
Harvey Moeis diketahui merupakan pemegang saham PT Refined Bangka Tin (RBT).
Dalam kasus ini, Harvey Moeis memiliki peran sebagai perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT).
Harvey Moeis juga bertugas untuk mengkoordinir sejumlah perusahaan terkait penambangan timah liar di Bangka Belitung.
Perusahaan tersebut di antaranya ada PT SIP, CV VIP, PT SBS, dan PT TIN.
Menurut Dirdik Jampidsus Kejaksaan Agung, Kuntadi, penambangan timah liar ini dilakukan dengan kedok kegiatan sewa-menyewa peralatan dan processing peleburan timah.
"Kegiatan akomodir pertambangan liar tersebut akhirnya dicover dengan kegiatan sewa-menyewa peralatan dan processing peleburan timah yang selanjutnya tersangka HM ini menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, SV VIP, PT SBS, dan PT TIN untuk dipercepat dalam kegiatan dimaksud," terang Kuntadi, Rabu (27/3/2024).
Namun sebelum itu dilakukan, Harvey terlebih dulu berkoordinasi dengan petinggi perusahaan negara, PT Timah sebagai pemilik ijin usaha pertambangan (IUP).
Petinggi yang dimaksud ialah M Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) selaku mantan Direktur Utama PT Timah yang sebelumya sudah ditetapkan tersangka.
"Sekira tahun 2018 dan 2019, saudara tersangka HM ini menghubungi Direktur Utama PT Timah, saudara MRPT atau saudara RS alias MS dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah," jelas Kuntadi.
Hubungan Harvey Moeis dengan Helena Lim
Setelah penambangan liar dilakukan, Harvey Moeis kemudian meminta perusahaan-perusahaan tersebut untuk menyisihkan sebagian keuntungannya.
Sebagian keuntungan itu kemudian mengalir ke corporate social responsible (CSR) PT Quantum Skyline Exchange (QSE) yang manajernya adalah Helena Lim.
Pada konferensi pers, Selasa (26/3/2024), Kuntadi mengungkap peran Helena Lim dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk.
Helena Lim diduga membantu mengelola hasil tindak pidana korupsi berkaitan dengan kerja sama sewa peralatan proses peleburan timah selama tahun 2018 hingga 2019.
“Yang bersangkutan selaku manajer PT QSE diduga kuat telah memberikan bantuan mengelola hasil tindak pidana kerja sama penyewaan peralatan processing peleburan timah,” kata Kuntadi dalam konferensi pers, Selasa (26/3/2024) malam.
Crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) itu juga menyediakan sarana dan prasarana kepada pemilik smelter.
Aksi ini dilakukan dengan dalih penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR).
“Yang bersangkutan memberikan sarana dan prasarana melalui PT QSE untuk kepentingan dan keuntungan yang bersangkutan dan tersangka lain dengan dalih dalam rangka untuk penyaluran CSR,” terang Kuntadi.
Helena Lim diketahui merupakan salah satu orang kaya di Jakarta dengan julukan Crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK).
Dia juga kerap bergaul bareng selebriti dan beberapa waktu lalu me-launching lagu terbaru serta kerap memakerkan kekayaannya di media sosial.
Helena Lim kini ditahan di Rumah Tahanan Negara Salemba Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan atau sampai 14 April 2024.
Akibat perbuatannya, Helena Lim disangkakan melanggar ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 56 KUHP.
Harvey Moeis juga telah menjalani penahanan selama 20 hari ke depan, sesuai ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Sebagai informasi, dalam perkara ini tim penyidik telah menetapkan 15 tersangka, termasuk perkara pokok dan obstruction of justice (OOJ) alias perintangan penyidikan.
Dengan demikian, Harvey Moeis menjadi tersangka ke-16 dalam perkara ini.
Nilai kerugian negara pada kasus ini ditaksir mencapai Rp 271 triliun.
Baca juga: LIVE Keterangan Kejaksaan Agung Tetapkan Harvey Moeis Jadi Tersangka Kasus Korupsi Timah
Bahkan menurut Kejaksaan Agung nilai Rp 271 triliun itu akan terus bertambah.
Sebab nilai tersebut baru hasil penghitungan kerugian perekonomian, belum ditambah kerugian keuangan. (*)