Calon Anggota LPSK Ini Soroti Sulitnya Pemenuhan Hak-hak Korban Tindak Pidana Terorisme
Wahyu menjelaskan, UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, ada batasan waktu permohonan pengajuan kompensasi dan bantuan
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Wahyu Wagiman, menyoroti sulitnya pemenuhan hak-hak korban tindak pidana terorisme.
Hal itu disampaikannya saat memaparkan materi uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test anggota LPSK yang digelar Komisi III DPR, pada Senin (1/4/2024).
Awalnya, Wahyu memaparkan sejumlah tantangan yang akan dihadapi oleh LPSK setidaknya lima tahun ke depan, yang pertama soal perubahan regulasi.
"Ada dua atau tiga peraturan perundang-undangan yang sudah dibahas oleh DPR terkait misalnya UU Hukum Pidana dan UU Hukum Pidana Kekerasan Seksual," ujar Wahyu di Ruang Rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta.
"Ini salah satu contoh bagaimana kedua regulasi perlu direpsons LPSK ke depan," imbuhnya.
Tantangan yang kedua, yakni berkaitan dengan pemenuhan hak-hak saksi dan korban, khususnya terkait dengan korban tindak pidana terorisme.
Wahyu menjelaskan, UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, ada batasan waktu permohonan pengajuan kompensasi dan bantuan khusus untuk korban-korban tindak pidana terorisme.
Dalam UU itu disebutkan, tiga tahun setelah UU itu disahkan pada 2018, kemudian 3 tahun setelahnya para korban tindak pidana terorisme tidak bisa mengajukan permohonan bantuan kepada LPSK atau pun BNPT.
"Ini salah satu tantangan yang perlu dihadapi dan direspons oleh LPSK ke depan, bagaimana pememuhan hak saksi dan atau korban khususnya korban tindak pidana terorisme ini bisa perlu dikaji kembali," ucapnya.
"Bagaimana jalan tengah yang bisa dilakukan oleh LPSK terkait pememuhan hak-hak saksi dan korban khususnya korban tindak pidana terorisme masa lalu," imbuhnya.
Baca juga: Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp3 Miliar Dipulangkan ke Kejagung, Ini Alasannya
Sebab, lanjut Wahyu, berdasarkan dari BNPT ada sekitar 600 hingga 700 korban tindak pidana terorisme masa lalu yang belum mendapatkan bantuan dari LPSK atau pun negara secara keseluruhan.
"Ini perlu menjadi perhatian juga bagi LPSK ke depan terkait dengan pemenuhan hak-hak korban khususnya tundak pidana terorisme masa lalu," ucapnya.
Yang teakhir, menurut Wahyu yang perlu direpsons adalah terkait dengan proses yang sedang dijalankan oleh pemerintah dan DPR, terutama terkait dengan RUU hukum acara pidana
"Bagaimana perubahan perubahan hukum acara ke depan itu akan mempengaruhi tugas dan fungsi LPSK terkait dengan perlindungan kepada khususnya saksi-saksi yang didalam proses peradilan pidana," katanya.
"Sehingga menurut saya perlu diperhatikan oleh LPSK sehingga LPSK bisa respinsif terhadap peubahan peraturan perundangan di Indonesia, guna memberikan perlindungan saksi dan korban pelapor ataupun justice collaborator di Indonesia," pungkasnya.