Kejagung Sebut Korupsi Timah Rugikan Negara Rp271 Triliun, Pengamat: Jangan Dahului Perhitungan BPK
Kerugian akibat kerusakan lingkungan berbeda dengan kerugian negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penulis: Erik S
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Kejaksaan Agung sampai saat ini masih terus mengembangkan kasus dugaan korupsi PT Timah, dengan dugaan kerugian negara Rp271 Triliun.
Angka tersebut bukanlah Laporan Hasil Perhitungan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) yang secara konstitusional berhak melakukan penghitungan, tetapi berdasarkan hitungan kerugian ekologis menurut ahli IPB.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia, Yusri Usman dalam keterangannya kepada media di Jakarta, Rabu (3/4/2024) menjelaskan angka Rp271 Triliun itu adalah hasil perhitungan Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Bambang Hero Saharjo, terkait kerugian ekologis yang diamati menggunakan citra satelit dari tahun 2015 sampai 2022.
Yusri mempertanyakan hasil perhitungan tersebut. Menurut dia, setiap pemilik IUP Operasi Produksi menurut PP nomor 96 Tahun 2021 tentang pelaksanaan kegiatan Mineral dan Batubara telah diwajibkan menempatkan jaminan reklamasi ( jamrek) yang ditentukan besarannya oleh Ditjen Minerba Kementerian ESDM yang bisa digunakan memulihkan lobang tambang jika pemilik IUP tidak melakukan reklamasi, bahkan jamrek ini juga dijadikan syarat RKAB setiap tahunnya, sehingga timbul pertanyaan jangan jangan hal itu tidak dipenuhi baik pemilik IUP dengan persetujuan pejabat Ditjen Minerba, cilaka ini jika terjadi.
Baca juga: Robert Bonosusatya, Terduga Aktor Intelektual dalam Kasus Korupsi Timah Kembali Diperiksa Kejagung
"Kerugian akibat kerusakan lingkungan berbeda dengan kerugian negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK), jadi masyarakat jangan dikasih informasi yang menyesatkan" ujar Yusri saat dihubungi.
Yusri menambahkan penghitungan pakar IPB itu seharusnya tidak serta merta dijadikan Kejagung sebagai besaran dugaan kerugian negara. Secara konstitusional BPK lebih berhak menghitung besarnya kerugian negara.
"Jangan main-main ini loh, karena menyangkut harkat dan martabat 16 warga negara yang dijadikan tersangka beserta keluarganya," ucap Yusri.
Menurut Yusri, ini cara tidak manusiawi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum kita yang terkesan hanya sekedar mencari sensasi dengan seolah-olah menyebutkan angka fantastis sehingga menjadi wah.
"Betul saya setuju kita harus mendukung pemberantasan korupsi secara tuntas dan jangan tebang pilih, karena ini merupakan kejahatan luar biasa yang masih mendarah daging di republik kita. Tetapi harus juga dengan cara yang menjunjung hak asasi manusia," tegas Yusri.
Yusri menyampaikan kekhawatirannya karena cara aparat penegak hukum mencari sensasi ini malah menjadi plesetan di masyarakat.
Yusri pun menambahkan kewenangan BPK RI sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara tertuang dalam Pasal 23E UUD 1945 dan dipertegas kembali dalam UU No.15 Tahun 2006 tentang BPK.
"Sehingga sebagai lembaga pemeriksa tertinggi harus menghitung kerugian negara secara adil, bijaksana, objektif dan komprehensif terhadap dugaan korupsi tata niaga timah di IUP PT Timah Tbk agar publik tidak simpang siur memahaminya," pungkas Yusri.
16 Tersangka
Sebagai informasi, dalam perkara ini tim penyidik telah menetapkan 16 tersangka, termasuk perkara pokok dan obstruction of justice (OOJ) alias perintangan penyidikan.
Di antara para tersangka yang sudah ditetapkan sebelumnya, terdapat penyelenggara negara, yakni: M Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) selaku mantan Direktur Utama PT Timah; Emil Emindra (EML) selaku Direktur Keuangan PT Timah tahun 2017 sampai dengan 2018; dan Alwin Albar (ALW) selaku Direktur Operasional tahun 2017, 2018, 2021 sekaligus Direktur Pengembangan Usaha tahun 2019 sampai dengan 2020 PT Timah.
Kemudian selebihnya merupakan pihak swasta, yakni: Pemilik CV Venus Inti Perkasa (VIP), Tamron alias Aon (TN); Manajer Operasional CV VIP, Achmad Albani (AA); Komisaris CV VIP, BY; Direktur Utama CV VIP, HT alias ASN; General Manager PT Tinindo Inter Nusa (TIN) Rosalina (RL); Direktur Utama PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS) berinisial RI; SG alias AW selaku pengusaha tambang di Pangkalpinang; MBG selaku pengusaha tambang di Pangkalpinang; Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT), Suparta (SP); Direktur Pengembangan Usaha PT RBT, Reza Andriansyah (RA); Manajer PT Quantum Skyline Exchange, Helena Li; dan perwakilan PT RBT, Harvey Moeis.
Rincian kerugian korupsi timah ilegal berdasarkan hitungan Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo:
Berikut perinciannya:
1. Kerugian tambang timah di dalam kawasan hutan
Kerugian lingkungan ekologis: Rp 157,83 triliun
Biaya kerugian ekonomi lingkungan: Rp 60,27 triliun
Biaya pemulihan lingkungan: Rp 5,26 triliun Dengan begitu, total kerugian mencapai Rp 223,36 triliun.
2. Kerugian tambang timah di luar kawasan hutan
Kerugian lingkungan ekologis: Rp 25,87 triliun Biaya kerugian ekonomi lingkungan: Rp 15,2 triliun
Biaya pemulihan lingkungan: Rp 6,63 triliun.
Dengan begitu, total kerugian mencapai Rp 47,70 triliun.
Jika semua nominal kerugian di dalam hutan dan di luar kawasan hutan di total, hasil kerugian akibat kerusakan yang juga harus ditanggung negara adalah Rp 271,06 triliun.