Tidak hanya dalam Bisnis, Peneliti BRIN: Masyarakat Tionghoa Berpartisipasi dalam Berbagai Aspek
Peneliti BRIN Saiful Hakam, pergulatan etnik Tionghoa bagi dan demi menjadi bagian utuh bangsa Indonesia juga berlangsung dalam ranah pribadi.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Wahyu Aji
Namun bahkan para pemimpin Muslim berlatar belakang etnik Tionghoa yang menjalankan kegiatan dakwah mereka di sana tetap membiarkan para umat, khususnya mereka yang baru saja memeluk agama Islam, untuk merasakan aroma budaya Tionghoa sambil mempelajari agama Islam.
“Tujuannya adalah agar para mualaf merasa nyaman dalam mempelajari agama baru mereka,” kata wanita yang baru saja mempertahankan tesis magister dengan tema inkulturasi dan dakwah di kalangan mualaf berlatar belakang etnik Tionghoa itu.
Setidaknya dalam pandangan Ketua FSI Johanes Herlijanto, peran yang dimainkan oleh para pendakwah Muslim Tionghoa di Masjid Lautze di atas hanya merupakan sebuah contoh kecil dari partisipasi Tionghoa Muslim dalam melakukan dakwah Islam.
Menurutnya, sebuah potret yang lebih lengkap pernah sebelumnya diperkenalkan oleh Hew Wai Weng, seorang pakar Tionghoa Indonesia negeri jiran, Malaysia.
Dalam sebuah buku berjudul Chinese Ways of Being Muslims: Negotiating Ethnicity and Religiosity in Indonesia, Hew memaparkan peran orang-orang Tionghoa Muslim dalam menyebarkan agama Islam kepada non-Muslim, sambil secara bersamaan berupaya membangun citra positif etnik Tionghoa di hadapan saudara-saudara sebangsa mereka, masyarakat Indonesia.
Para Tionghoa Muslim tersebut antara lain membangun berbagai masjid yang mengandung ciri arsitektur Tionghoa, yang menurut pandangan Hew, berperan dalam menciptakan ruang kosmopolitan pada tataran lokal. Di ruang itulah orang-orang dari berbagai etnik, baik Muslim ataupun non-Muslim, berinteraksi.
Dalam penuturan Hew, para mubaligh Tionghoa juga turut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang memperlihatkan ekspresi Islam yang beragam.
Melaluinya, para mubaligh Tionghoa memainkan seperangkat peran yang saling berkaitan. Pada satu sisi, mereka memopulerkan Islam sebagai sebuah agama yang berkarakter kosmopolitan dan lintas etnik. Namun pada sisi lain, mereka juga mempromosikan pandangan bahwa etnik Tionghoa bersifat inklusif.
Dalam penilaian Johanes, partisipasi Tionghoa Muslim dalam dakwah Islam sebagai digambarkan oleh Hew dan Audhiandra di atas memiliki peran yang sangat penting bagi upaya memahami etnik Tionghoa di Indonesia. “
Keberadaan para Mubaligh maupun mualaf Tionghoa, baik di Masjid Laotze maupun di berbagai tempat lainnya di Indonesia, telah menjadi salah satu contoh nyata yang memperlihatkan kemampuan adaptasi Tionghoa dengan budaya dan masyarakat Indonesia dari berbagai etnik lainnya.
Kemampuan adaptasi ini terlihat dari fakta bahwa Tionghoa pun bisa saja memeluk agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia lainnya, bahkan agama dari mayoritas saudara sebangsa mereka,” kata Johanes yang juga sehari-hari sebagai Dosen Program Magister Ilmu Komunikasi UPH itu.
Baca juga: Meningkatkan Keberuntungan dan Menyingkirkan Kesialan Melalui Tradisi Kuno Tionghoa
Menurutnya, proses adaptasi di atas menjadikan masyarakat Tionghoa Muslim sebagai sebuah kelompok masyarakat yang unik, dengan kharakteristik unik yang tak lagi dapat dijumpai di daratan Tiongkok.
Para Tionghoa Muslim yang diceritakan oleh para penulis di atas, sama seperti masyarakat Tionghoa Indonesia yang lain, adalah bagian dari bangsa Indonesia.
Agaknya, keberadaan kharakteristik unik inilah yang menyebabkan Saiful Hakam, pakar sejarah yang pandangannya telah dikutip di atas, menyatakan bahwa kisah kehidupan Tionghoa Muslim harus dipandang dalam kerangka wacana keindonesiaan.