Revisi UU Penyiaran Mendapat Penolakan, Ini Poin-poin yang Jadi Sorotan
Revisi yang tengah berjalan ini dikhawatirkan mengancam kebebasan jurnalis hingga ruang digital.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Revisi atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran banyak mengalami penolakan, salah satunya datang dari Remotivi dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI).
Revisi yang tengah berjalan ini dikhawatirkan mengancam kebebasan jurnalis hingga ruang digital.
Baca juga: Kepala Diskominfosantik Kalimantan Tengah Raih Anugerah Tokoh Penyiaran dari KPID
Tertulis dalam draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran 2 Oktober 2023 bahwa cakupan wilayah penyiaran diperluas.
Bukan hanya penyiaran konvensional seperti TV dan radio, melainkan juga mencakup penyiaran digital.
Sebagai konsekuensi dari perluasan kewenangan KPI, maka platform digital seperti Netflix, Amazon Prime, Vidio, dan platform lainnya harus tunduk pada UU Penyiaran yang baru serta diatur oleh Komisi Penyiaran Indonesia.
Baca juga: Gubernur Maluku Utara Sebut Media Penyiaran Seperti Televisi Punya Peran Penting Sampaikan Informasi
"Perubahan ini dinilai mengancam kebebasan pers penyiaran dan kreativitas di ruang digital," kata Direktur Eksekutif Remotivi Yovantra Arief, dalam konferensi pers via daring, Rabu (24/4).
Ia menjelaskan, memasukkan platform digital dalam definisi penyiaran membuat konten digital harus patuh pada aturan-aturan yang sama dengan aturan TV konvensional, padahal medium dan teknologinya berbeda.
"Ini tidak tepat karena platform digital memiliki logika teknologi yang berbeda dengan TV atau radio terestrial,” ujar Yovantra.
Kemudian hal yang disoroti adalah pasal 56 ayat 2 yang berisi larangan atas berbagai jenis konten penyiaran, baik konvensional maupun digital. Larangan-larangan ini mencakup tayangan terkait narkoba, perjudian, rokok, alkohol, kekerasan, atau unsur mistik.
Beberapa jenis konten yang dilarang pundinilai multiinterpretasi sehingga rentan untuk digunakan secara semena-mena.
Larangan-larangan ini berpotensi mengekang hak publik untuk mendapat konten yang beragam.
Padahal di platform digital publik memiliki agensi lebih besar untuk memilih dan menyaring tontonan, berbeda dengan penyiaran konvensional.
"Revisi ini juga memuat larangan atas tayangan yang menampilkan suatu profesi atau tokoh yang memiliki perilaku atau gaya hidup negatif, dan larangan atas rekayasa negatif informasi dan hiburan. Ketentuan ini sangat multitafsir, dan oleh karenanya berpotensi disalahgunakan," tambah Yovantra.
Baca juga: Ini Catatan Asosiasi di Bidang Jasa Periklanan, Media Penerbitan dan Penyiaran soal RPP Kesehatan
Konsekuensi lain dari perluasan revisi UU ini adalah kewajiban produk jurnalisme penyiaran untuk tunduk pada aturan Komisi Penyiaran Indonesia.