3 Tersangka Baru Kasus Taruna STIP Aniaya Junior hingga Tewas, Berperan Jadi Provokator
Polisi menetapkan 3 tersangka baru dalam kasus penganiayaan yang menewaskan taruna STIP Jakarta, ini perannya masing-masing.
Penulis: Rifqah
Editor: Nuryanti
TRIBUNNEWS.COM - Polres Metro Jakarta Utara menetapkan tiga tersangka baru dalam kasus penganiayaan yang menewaskan taruna tingkat 1 Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta bernama Putu Satria Ananta Rustika (19).
Putu dianiaya oleh seniornya sendiri bernama Tegar Rafi Sanjaya (21) di kampus pada Jumat (3/5/2024) pagi karena dianggap melakukan kesalahan.
Tegar pun telah ditetapkan sebagai tersangka utama oleh kepolisian pada Sabtu (4/5/2024).
Ia melakukan pemukuan hingga memasukkan tangan ke mulut Putu dengan maksud melakukan penyelamatan, tapi menyebabkan korban meninggal dunia.
Ternyata, selain Tegar, ada tersangka baru lagi dalam kasus penganiayaan tersebut.
Dikutip dari TribunJakarta.com, tiga tersangka baru yang ditetapkan sebagai tersangka itu merupakan rekan-rekan Tegar atau taruna tingkat 2.
Tiga tersangka baru tersebut berinisial KAK alias K, WJP alias W, dan FA alias A.
Artinya, kini sudah ada empat tersangka yang ditetapkan dalam kasus penganiayaan itu.
"Ada tiga tersangka baru yang ditetapkan dalam kasus ini usai dilakukan pengembangan penyidikan dan gelar perkara," kata Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Pol Gidion Arif Setyawan saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (8/5/2024) malam.
Penetapan tersangka baru itu dilakukan setelah polisi mengumpulkan barang bukti antara lain rekaman CCTV hingga hasil visum korban.
Peran 3 Tersangka Baru
Tiga tersangka tersebut juga bersama Tegar saat kejadian, mereka berperan memprovokasi Tegar hingga menunjuk Putu untuk dijadikan korban pemukulan.
Baca juga: Detik-detik Taruna STIP Jakarta yang Tewas Dianiaya Terekam CCTV, Terlihat Dibopong 5 Orang Senior
Tersangka FA alias A dalam kasus ini berperan memanggil korban Putu bersama teman-temannya dari lantai 3 untuk turun ke lantai 2.
Saat itu, alasan Putu dan teman-temannya dipanggil karena dianggap melakukan kesalahan.
Sebab, mereka memakai baju olahraga ke ruang kelas pada Jumat pagi.
"Ini yang diidentifikasi menurut persepsi senior tadi, salah atau menggunakan pakaian olahraga memasuki ruang kelas dengan mengatakan 'Woi, tingkat satu yang pakai PDO (pakaian dinas olahraga), sini!'," kata Gidion, Rabu malam.
"Jadi turun dari lantai 3 ke lantai 2. Lalu FA juga berperan menjadi pengawas ketika kekerasan eksesif terjadi di depan pintu toilet dan ini dibuktikan dari CCTV kemudian keterangan para saksi," sambungnya.
Sementara itu, tersangka WJP berperan memprovokasi Tegar untuk melakukan pemukulan terhadap korban Putu.
Selain itu, WJP juga meminta Putu untuk tidak mempermalukan dirinya dan harus kuat menerima pukulan.
"Saudara W mengatakan 'Jangan malu-maluin CBDM, kasih paham'. Ini bahasa mereka, maka itu kami menggunakan atau melakukan pemeriksaan terhadap ahli bahasa.
"Karena memang ada bahasa-bahasa pakemnya mereka yang kemudian mempunyai makna tersendiri," papar Gidion.
Sedangkan KAK, di sini berperan menunjuk Putu untuk dijadikan korban pemukulan pertama.
Sebelumnya, pemukulan itu direncanakan juga dilakukan kepada teman-teman Putu yang lain.
Namun, Putu menjadi orang pertama yang ditunjuk untuk dipukul hingga tak sadarkan diri setelah menerima hantaman di bagian ulu hati hingga tewas.
"Peran KAK adalah menunjuk korban sebelum dilakukan kekerasan eksesif oleh tersangka TRS, dengan mengatakan 'adikku aja nih, mayoret terpercaya'," kata Gidion.
"Ini juga kalimat-kalimat yang hanya hidup di lingkungan mereka, mempunyai makna tersendiri di antara mereka," jelasnya.
Terancam 15 Tahun Penjara
Atas perbuatan tersebut, keempat tersangka terancam hukuman 15 tahun penjara.
Tegar dijerat pasal 338 KUHP tentang pembunuhan juncto pasal 351 KUHP tentang penganiayaan berat.
Sementara ketiga rekan seangkatannya, dijerat pasal 55 juncto 56 KUHP karena keikutsertaan melakukan tindak pidana.
"Ancaman hukumannya sama konstruksi pasal kemarin ya. Hanya mungkin perbedaan di pembelaan atau mungkin ada pemberatan atau pengurangan tambahan karena pasal 55," kata Gidion.
"(Ancaman hukuman terhadap tiga tersangka baru) masih 15 tahun," sambung Gidion.
Motif Penganiayaan Diduga Karena Iri
Awalnya, terungkap pelaku melakukan penganiayaan karena korban melakukan kesalahan hingga menurutnya perlu dihukum.
Di mana, korban dianggap melakukan kesalahan karena mengenakan baju olahraga saat masuk ke dalam kelas pada Jumat pagi, usai jalan santai.
Kepada polisi, Tegar mengaku ia memukuli korban sebanyak lima kali di bagian ulu hatinya.
Pukulan tersebut dimaksudkan sebagai penerapan hukuman dari senior kepada junior.
"Ada penindakan terhadap junior, karena dilihat ada yang salah menurut persepsinya senior, sehingga dikumpulkan di kamar mandi," kata Gidion, Sabtu (4/5/2024), dikutip dari TribunJakarta.com.
Namun, diungkapkan oleh pihak keluarga, bahwa motif pelaku melakukan penganiayaan tersebut diduga karena merasa cemburu dengan korban.
Sebab, korban berprestasi dan lolos seleksi menjadi mayoret yang akan dikirim ke China.
"Kemarin pembinanya yang ngomong, memang keponakan saya ini terpilih jadi mayoret satu."
"Pembinanya bilang mungkin ada kecemburuan sosial, dalam hal kasus ini," kata paman Putu Satria, I Nyoman Budiarta, di program Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Senin (6/5/2024).
Nyoman mengatakan, sang pembina yang disebutkan merupakan anggota TNI Angkatan Laut (AL).
Sebagai informasi, berdasarkan hasil autopsi, ditemukan luka di bagian ulu hati korban yang menyebabkan pecahnya jaringan paru-paru.
Ditemukan juga penyebab utama tewasnya korban karena upaya pertolongan yang dilakukan oleh pelaku tidak sesuai prosedur.
Sebab, setelah dipukuli, korban lemas dan tak sadarkan diri hingga membuat pelaku panik dan sempat melakukan upaya penyelamatan.
Pelaku memasukkan tangannya ke dalam mulut korban, tapi Putu malah meninggal dunia.
Sebab, hal tersebut mengakibatkan organ vital korban tidak mendapatkan asupan oksigen.
"Ketika dilakukan upaya, menurut tersangka ini adalah penyelamatan, di bagian mulut, sehingga itu menutup oksigen, saluran pernapasan, kemudian mengakibatkan organ vital tidak mendapat asupan oksigen sehingga menyebabkan kematian," jelas Gidion.
"Jadi luka yang di paru itu mempercepat proses kematian, sementara yang menyebabkan kematiannya justru setelah melihat korban pingsan atau tidak berdaya, sehingga panik kemudian dilakukan upaya-upaya penyelamatan yang tidak sesuai prosedur," paparnya.
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJakarta.com dengan judul UPDATE Kasus STIP Jakarta, Ada Peran 3 Tersangka Baru Provokasi Tegar dan Tunjuk Putu Dipukul Duluan
(Tribunnews.com/Rifqah) (Tribunjakarta.com/Gerald Leonardo)