Respons Isu Perdagangan Karbon, Senator Filep Ungkap Urgensi Kepastian Regulasi Bagi Daerah
Dr Filep Wamafma menyampaikan bahwa peluang perdagangan karbon sudah semestinya diikuti dengan regulasi yang tepat.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Dewi Agustina
Termasuk Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik (Permen ESDM No. 16/2022); Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon (Permen LHK No. 21/2022).
Lalu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan (Permen LHK No. 7/2023); dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon (POJK No. 14/2023).
"Dalam perdagangan karbon, emisi karbon yang bisa diperdagangkan adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrat oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF6)."
"Dari Permen Nomor 21 Tahun 2022, diketahui bahwa para pelaku perdagangan karbon terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha/perusahaan, dan masyarakat," katanya.
"Indonesia pernah menghasilkan Bali Action Plan pada 2007. Namun Bali Action Plan ini tidak menyebutkan komitmen dan besaran kompensasi yang diterima daerah dengan hutan yang luas."
"Bali Action Plan menghasilkan terbentuknya Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI], yang pada 2015 dibubarkan oleh Presiden Jokowi dan dileburkan dalam KLHK."
"Lalu, pemerintah daerah sebagai pihak yang berwenang mengelola Area Penggunaan Lain (APL), bisa melakukan perdagangan karbon, namun kerja samanya hanya bisa dilakukan melalui pemerintah pusat."
"Sedangkan, pelaku usaha yang melakukan perdagangan karbon harus mencatat produksi emisi dan penurunan emisi ke Sistem Registri Nasional (SRN) yang ada di KLHK," urai Filep menambahkan.
Bagaimana dengan masyarakat?
Doktor Hukum alumnus Unhas Makassar itu menyampaikan, masyarakat sebagai komunitas, dapat melakukan perdagangan karbon.
Contoh nyata dilakukan oleh masyarakat desa di sekitar hutan lindung Bujang Raba di Jambi.
"Mereka menjual jasa penyerapan karbon hutan desa ke perusahaan luar negeri melalui bursa karbon internasional. Dalam kaitan dengan ini, berdasarkan peta jalan perdagangan karbon sektor kehutanan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.1027/MENLHK/PHL/KUM.1/9/2023 tanggal 22 September 2023, maka masyarakat adat yang telah memiliki izin hutan adat, mempunyai hak untuk mendapatkan manfaat dalam pengurangan emisi gas rumah kaca melalui penjualan karbon," katanya.
"Catatan di atas memberi ruang yang lebih luas bagi pemerintah pusat untuk menetapkan regulasi terkait sistem bagi hasil perdagangan karbon apabila mekanismenya dilakukan oleh daerah pemilik hutan. Pada saat yang sama, pemerintah daerah juga harus mendorong penguatan fungsi masyarakat adat dalam perdagangan karbon," tambahnya.
Senator Papua Barat itu lantas merujuk pada Pasal 17 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 7 Tahun 2023, disebutkan bahwa: (1) pungutan atas karbon sektor Kehutanan dilakukan dalam bentuk pungutan negara lainnya; (2) Pungutan negara lainnya sebagaimana dimaksud ayat (1) berupa penerimaan negara bukan pajak pemanfaatan hutan atas kegiatan penyerapan karbon dan/atau penyimpanan karbon.