Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Mahfud MD Ungkap Alasannya Dulu Tolak RUU MK yang Kini Disepakati Pemerintah dan DPR

Mahfud MD mengungkap alasannya pernah menolak RUU MK saat masih Menkopolhukam, karena terkait dengan aturan peralihan pasal 87.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Theresia Felisiani
zoom-in Mahfud MD Ungkap Alasannya Dulu Tolak RUU MK yang Kini Disepakati Pemerintah dan DPR
Tribunnews.com/ Gita Irawan
Eks Menkopolhukam sekaligus Calon wakil presiden nomor urut 3 Pilpres 2024, Mahfud MD. Mahfud MD mengungkap alasannya pernah menolak RUU MK saat masih Menkopolhukam, karena terkait dengan aturan peralihan pasal 87. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Menko Polhukam Mahfud MD mengungkap alasannya pernah menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang kini telah disepakati pemerintah DPR.

Saat masih menjabat dulu, kata Mahfud MD, ia menolak pengesahan RUU MK karena terkait dengan aturan peralihan pasal 87.

Menurutnya, hal itu karena aturan tersebut tidak umum.

"Yang umum itu kalau ada aturan baru, yang sudah ada itu dianggap sah sampai selesainya masa tugas. Tapi di RUU itu disebutkan dengan berlakunya UU ini maka hakim MK yang sudah menjadi hakim lebih dari 5 tahun dan belum 10 tahun, harus dimintakan konfirmasi ke lembaga yang mengusulkannya," kata Mahfud MD ketika dikonfirmasi pada Selasa (14/5/2024) malam.

"Nah itu saya tidak setuju waktu itu karena itu bisa mengganggu independensi hakim MK. Pada waktu itu sedang menjelang pilpres sehingga bisa saja hakim MK dibayang-bayangi oleh ancaman konfirmasi kepada institusi pengusul itu. Maka saya waktu itu minta agar itu tidak diteruskan," sambung dia.

Terkait dengan perubahan sikap pemerintah yang kini telah menyepakati RUU MK untuk dibawa ke rapat pengambilan keputusan tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR RI, Mahfud tidak mempermasalahkannya.

Menurutnya, hal tersebut sah secara kenegaraan.

BERITA REKOMENDASI

Di sisi lain, ancaman terhadap independensi hakim dalam memutus hasil Pilpres yang dikhawatirkannya juga sudah berlalu.

Namun menurutnya, aturan tersebut dapat dimaknai secara positif maupun negatif apabila nantinya disahkan Pemerintag dan DPR dan berlaku sebagai Undang-Undang.

"Kalau mau ambil positifnya misalnya, bisa saja UU nya disahkan lalu tiga hakim MK yang harus dimintakan konfirmasi, Saldi, dan Enny kepada Presiden lalu Suhartoyo kepada MA, lalu ketiganya dinyatakan supaya terus bertugas. Kan bisa konfirmasi. Sampai selesainya masa berlakunya SK masing-masing. Itu bisa," kata dia.

"Tapi bisa juga langsung diganti. Itu bisa juga. Nanti silakan saja. Itu sekarang sudah terjadi. Kalau bagi saya terutama yang Pilpres sudah selesai," sambung dia.

Baca juga: Baleg DPR Sebut Pembahasan Revisi UU Kementerian Akan Dipercepat, Presiden Jokowi Jadi Penentu

Ia menilai ketiga hakim MK tersebut juga tidak menjadi ancaman pemerintah apabila aturan tersebut berlaku dan mereka dinyatakan masih boleh bertugas sampai dengan selesainya SK mereka masing-masing.

Hal itu, kata dia, karena Pilpres 2024 sudah selesai.

"(Mereka) Memang sudah tidak akan bertugas mengurusi Pilpres lagi. Sehingga diteruskan pun tidak apa-apa. Tinggal menangani kasus biasa dan itu biasa menjadi politik etis bagi pemerintah untuk menunjukkan bahwa kami nggak akan mecat meskipun aturannya begitu. Biar terus. Itu kan politik etis. Tapi saya tidak tahu perkembangan berikutnya," kata dia.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas