Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Jamdatun Jelaskan Risiko Pidana pada Keputusan Direksi yang Menyangkut Keuangan Negara

Jamdatun Feri Wibisono menjelaskan terkait risiko pidana pada keputusan pimpinan perusahaan atau direksi yang menyangkut keuangan negara.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Dodi Esvandi
zoom-in Jamdatun Jelaskan Risiko Pidana pada Keputusan Direksi yang Menyangkut Keuangan Negara
Tribunnews.com/Gita Irawan
Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) (kemeja putih kanan) Feri Wibisono saat diskusi publik Katadata Forum bertema “Bahaya Kriminalisasi Putusan Bisnis” di Jakarta pada Rabu (22/5/2024). 

Hampir semua pledoi dan eksepsi yang diajukan terkait perkara korupsi di BUMN dan anak perusahaan dan cucu perusahaan, kata dia, selalu menyantumkan argumen bahwa tindakan mereka termasuk ke dalam BJR dan bukan kasus pidana.

Namun, kata Feri, setelah perkara tersebut diperiksa hakim, hanya sedikit hakim yang mengabulkan dalil BJR tersebut.

"Dan yang dikabulkan oleh hakim argumen dalil BJR itu, itu di bawah 5 persen," kata dia.

Untuk itu, ia khawatir apabila pemaknaan mengenai ketentuan mengenai BJR tersebut diperluas justru akan membahayakan mereka sendiri.

Hal tersebut, kata dia, karena hukum yang hidup tidak memaknai BJR sebagaimana yang dimaknai dalam pledoi atau eksepsi dalam perkara-perkara tersebut.

"Sehingga advises (anjuran) kepada direksi dengan meluas-luaskan BJR ini, saya khawatir akan membahayakan bagi mereka sendiri karena hukum yang hidup tidak seperti itu. Hukum yang hidup, peraturan yang berlaku, dan sumber hukum dari yurisprudensi adalah seperti itu," kata dia.

Menurutnya, hal yang menjadi masalah adalah seringkali banyak pejabat korporasi menganggap dan merasa bahwa dalam jabatan itu mereka memiliki diskresi.

Berita Rekomendasi

Padahal diskresi yang dipahami mereka tidak sesuai dengan pengertian diskresi menurut hukum.

Diskresi dalam hal ini, kata dia, diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

"Diskresi hanya ada untuk menyelesaikan keadaan kegentingan yang memaksa, special cases saat peraturannya belum ada, peraturannya belum lengkap, peraturannya memberikan kewenangan untuk itu," kata dia.

"Diskresi harus sesuai dengan kebutuhan problemnya. Jadi problemnya A, nggak bisa diskresi kemudian digunakan untuk A+B+C. Ini hukum lho ya. Hukum yang hidup. Kemudian harus sesuai dengan kewenangannya. Diskresi tidak membolehkan kewenangan orang lain anda anggap itu diskresi anda," sambung dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas