Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau Berpotensi Mengancam Keberlangsungan Industri & Para Pekerja
Kenaikan cukai rokok diharapkan tidak hanya dilihat dari segi finansial dan inflasi, tapi juga dari dampak bagi pekerja.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tingginya kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) secara tahunan dinilai bisa mengancam keberlangsungan industri, yang turut berdampak kepada para pekerjanya.
Ketua Pengurus Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Jawa Timur, Purnomo menyatakan kenaikan CHT akan menghantui keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT).
Baca juga: DPN APTI: Arah Kebijakan Cukai Tidak Memperhatikan Aspek Kelangsungan Hidup Petani Tembakau
Secara kumulatif, kenaikan tarif CHT telah mencapai 67,5 persen dalam lima tahun terakhir.
Hal ini membuat harga rokok melejit, sehingga menyebabkan maraknya penyebaran rokok ilegal di masyarakat.
"Akibatnya perusahaan rokok legal bisa mati karena kalah saing. Oleh karena itu, kebijakan kenaikan tarif cukai rokok harus melihat kemampuan industrinya," kata Purnomo kepada wartawan, Rabu (29/5/2024).
Menimbang kondisi tersebut, pihaknya meminta pemerintah untuk tidak lagi menaikkan tarif cukai rokok pada tahun 2025.
Dengan begitu, jumlah tenaga kerja diharapkan dapat terus bertambah ke depannya.
"Apabila kondisi IHT baik, maka jumlah tenaga kerja dapat bertambah. Misalnya, seperti di sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT), kebijakan tarif cukai rokok yang berpihak bagi SKT mendukung serapan tenaga kerja," ungkapnya.
Baca juga: RPP Kesehatan Jadi Tantangan, Pemerintah Diminta Dukung Kesejahteraan Petani Tembakau
Di RTMM sendiri, terdapat penambahan dua perusahaan dengan jumlah tenaga kerja sekitar 5.000 orang.
Hal ini membantu mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia, utamanya di Jawa Timur di mana jumlah pengangguran masih signifikan.
Di kesempatan terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati Tangka, mengatakan sekitar 90 persen pekerja di sektor SKT merupakan perempuan.
Namun, ironisnya, Mike belum melihat adanya peran pemerintah yang maksimal dalam memperhatikan serta melindungi hak-hak pekerja perempuan di sektor SKT.
Kekhawatiran ini didasari oleh besarnya ketergantungan kinerja SKT pada kebijakan pemerintah.